Tetap Harus Ada Pembatasan meski BBM Bersubsidi Naik

Besaran kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi hingga kini belum final. Pemerintah mendapat berbagai masukan agar kebijakan yang akan diambil tidak memberatkan masyarakat dan memicu inflasi yang tinggi.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyatakan, apabila pemerintah jadi menaikkan harga BBM bersubsidi, besarannya jangan sampai di atas Rp 10 ribu per liter. ”Sebab, kalau sudah di atas Rp 10 ribu per liter, lonjakan inflasinya pasti lebih tinggi dari perhitungan,’’ ujarnya.

Harga solar subsidi, lanjut dia, idealnya sekitar Rp 7 ribu per liter. Hitungan harga ideal Rp 10 ribu per liter untuk pertalite dan Rp 7 ribu per liter untuk solar itu bukan tanpa sebab. Mamit menyebutkan, ada komponen inflasi yang tentu akan menyertai kenaikan harga BBM bersubsidi. Dengan kisaran harga tersebut, kenaikan inflasi diproyeksikan mencapai 2 persen.

Menurut dia, inflasi saat ini mencapai 4–5 persen. Jika ada sumbangan inflasi 2 persen, inflasi total bisa mencapai 6–7 persen. ”Kalau lebih dari Rp 10 ribu per liter, tentu sangat besar juga inflasinya. Apalagi kalau solar lebih dari Rp 7 ribu per liter akan sangat memberatkan karena terkait transportasi darat dan sarana distribusi,’’ urai Mamit.

Dia juga berharap rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi tetap dilakukan. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa mayoritas pengguna BBM bersubsidi justru masyarakat kelas menengah atas.

Adanya revisi Perpres 191 Tahun 2014 yang saat ini masih dalam finalisasi diharapkan dapat memuat pembatasan tersebut. Dalam beleid yang baru itu, ada acuan detail tentang kriteria kendaraan apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi. ”Hampir seluruh penikmat BBM bersubsidi adalah masyarakat menengah ke atas. Dengan adanya pembatasan, saya kira pemberian subsidi bisa lebih klir dan tepat sasaran,” tutur Mamit.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kesempatan terpisah membeberkan, harga BBM subsidi yang saat ini dijual masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Solar, misalnya, masih dijual Rp 5.150 per liter. Jika menggunakan harga minyak mentah Indonesia atau ICP USD 105 per barel dan kurs rupiah Rp 14.700 per dolar AS, solar seharusnya berada pada harga Rp 13.950 per liter. ”Jadi, harga yang dijual kepada masyarakat itu hanya 37 persennya. Artinya, masyarakat dan seluruh perekonomian mendapatkan subsidi 63 persen dari harga keekonomiannya atau harga riilnya. Itu Rp 8.800 per liter,” tutur dia.

Sementara itu, untuk pertalite yang saat ini berada pada harga Rp 7.650 per liter, dengan ICP USD 105 per barel dan kurs nilai tukar Rp 14.700 per dolar AS, harga keekonomiannya seharusnya Rp 14.450. Artinya, harga pertalite sekarang ini hanya 53 persen dari yang seharusnya.

BBM jenis pertamax dengan harga Rp 12.500 per liter juga seharusnya memiliki harga Rp 17.300 per liter. ”Jadi, bahkan pertamax sekalipun yang dikonsumsi oleh mobil-mobil yang biasanya bagus, yang berarti pemiliknya juga mampu, itu setiap liternya mereka mendapatkan subsidi Rp 4.800,” katanya.

Begitu pula LPG 3 kg. Saat ini harga jual per kg adalah Rp 4.250. Namun, jika mengikuti harga riil, seharusnya Rp 18.500 per kg. Dengan demikian, untuk setiap kg LPG, konsumen mendapatkan subsidi Rp 14.250. ”Jadi, kalau setiap kali beli LPG 3 kg, kita bayangkan mereka mendapatkan Rp 42.000 lebih,” jelasnya.

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published.