JAKARTA – Pemerintah berencana untuk melakukan revisi Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN jo Permen ESDM No 13/2019 jo No 16/2019.
Salah satu poin yang direvisi adalah Pasal 6 di mana ketentuan ekspor listrik lebih besar dari 65 persen menjadi 100 persen.
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, ketentuan ini cenderung akan memberatkan bagi negara.
“Secara prinsip, skema 1:1 akan mendorong masyarakat untuk berbisnis dengan PLN tapi tidak diperlakukan sebagai entitas bisnis. Padahal, PLN sudah membangun infrastruktur kelistrikan terlebih dahulu,” kata Mamit dalam keterangan tertulisnya, Jakarta Jumat (27/8/2021).
Dia juga menyampaikan bahwa harga PLTS Atap jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pembangkit lain. BPP untuk PLTU hanya Rp700 – Rp900 per kwh, sedangkan untuk PLTS Atap adalah sebesar Rp1.400 sesuai TDL. Kewajiban PLN membeli listrik EBT, di mana selisih dengan pembangkit fosil ditanggung oleh negara.
“Dengan selisih yang cukup besar ini, maka harus ditanggung oleh negara dengan dana kompensasi yang harus dibayarkan kepada PLN sehingga harus menambah postur baru dalam APBN kita. Ini jelas akan menambah beban keuangan negara apalagi jika PLTS Atap sudah naik secara signifikan apalagi tidak ada batasan kapasitas terpasang sehingga tidak ada kepastian neraca daya,” kata Mamit.
Mamit juga menyoroti kondisi kelistrikan saat ini yang sudah oversupply. “Di tengah pasokan listrik yang berlimpah dan belum tumbuhnya konsumsi listrik nasional, PLN dipaksa harus menerima listrik dari PLTS Atap yang bisa menyebabkan pertumbuhan konsumsi listrik tidak tumbuh. Jelas ini akan memberatkan PLN apalagi saat ini program 35 GW sudah berjalan dimana skemanya adalah Take or Pay yang belum terserap semua karena system Jawa-Bali sudah berlebihan pasokan listrik.” ucap Mamit.
Dia juga menyampaikan PLN harus tetap menjaga kehandalan listrik bagi konsumen PLTS atap karena sifatnya listrik yang dihasilkan intermittent serta listrik yang dihasilkan oleh PLTS Atap efektif di siang hari yaitu jam 10 sampai jam 14.
“Jelas ada beban cost yang harus disiapkan oleh PLN karena harus tetap menjaga pasokan listrik ke konsumen. Intemittency ini jadi permasalahan tersendiri karena akan menambah BPP listrik. Saat intermittent ini harus disiapkan pembangkit follower seperti gas atau diesel yang harus tetap standby. Jadi skema 1:1 tidak pas dan cendrung menguntungkan pihak-pihak tertentu,” ungkap Mamit.
Mamit juga menyampaikan bahwa saat ini kandungan TKDN PLTS maksimal 40% saja di mana justru akan lebih banyak impor yang dilakukan, dengan demikian multiplier effect tidak bisa dioptimalkan.
“Jangan sampai kita hanya menjadi pasar impor dan penonton saja. Sayang, APBN kita akhirnya hanya mengalir ke produsen dan pengusaha solar panel saja tanpa ada potensi ekonomi yang dihasilkan, padahal kita punya potensi green energy di dalam negeri yang jauh lebih besar,” urai Mamit.
Mamit juga menyoroti bahwa yang saat ini bisa memasang PLTS Atap adalah golongan menengah ke atas karena memang harga PLTS Atap masih cukup mahal.
“Jangan sampai nanti ada kecemburuan sosial di masyarakat terkait dengan PLTS Atap ini, karena yang bisa menikmati adalah pelanggan dengan kapasitas yang besar,” kata Mamit.
Sumber : https://economy.okezone.com/