Soal Indonesia Kalah di Gugatan WTO, Energy Watch: Ini Sumber Daya Kita, Lawan!

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyatakan Indonesia tidak perlu takut meski kalah dalam gugatan larangan ekspor nikel di World Trade Organization atau WTO. Indonesia juga tidak perlu khawatir soal dampak jangka panjang yang mengintai buntut keputusan ini.

“Ini sumber daya alam kita. Mengapa mesti takut dengan mereka? Kita lawan,” ujar Mamit.

Dia juga meminta para investor yang akan masuk ke Indonesia tidak perlu khawatir. Pasalnya, keputusan WTO belum final. Artinya, pemerintah masih memiliki kesempatan untuk melawan dengan mengajukan banding. Karena itu dia mendukung langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk tidak hanya diam dan memintanya segara berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengambil langkah selanjutnya.

Mamit berujar nikel menjadi sumber daya alam kebanggaan Indonesia yang sangat dibutuhkan untuk transisi energi.  “Ini hasil alam kita, masak harus kita tunduk dengan aturan yang merugikan. Jangan karena kita negara berkembang maka kita yang ditekan,” ujar Mamit.

Menurutnya, Uni Eropa mesti berlaku fair. “Kalau mau, mereka berinvestasi di Indonesia,” imbuh Mamit.

Saat ini, Mamit melanjutkan, meski 90 persen tambang nikel dikuasai Cina, multiplier effect untuk Indonesia bisa terlihat. Misalnya dari ekonomi daerah yang bertumbuh. Selain itu, tenaga kerja Indonesia juga terserap dan negara mendapat manfaat dari hilirisasi ini.

Oleh karena itu, Mamit menyarankan agar hilirisasi nikel di Indonesia dilakukan secara end to end. Artinya, tidak hanya barang seperempat jadi dijual ke Cina, lalu masuk kembali ke Indonesia sebagai barang jadi dan Indonesia menjadi konsumen saja. Namun, pengolahan nikel mestinya diolah dari hulu ke hilir dan 100 persen dibuat di Indonesia.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif memang mengatakan pemerintah bakal mengajukan banding karena menilai keputusan panel belum memiliki keputusan tetap. “Masih ada peluang untuk banding dan tidak perlu mengubah peraturan  atau bahkan mencabut kebijakan yang tidak sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi DSB,” ujar Arifin dalam Raker dengan Komisi VII DPR RI, Senin, 21 November 2022.

Adapun peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO, yakni UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019 perubahan kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Selanjutnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Terakhir, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Dalam hasil putusan final tersebut disebutkan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994. Panel juga menolak pembelaan yang diajukan Pemerintah Indonesia terkait keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (aspek lingkungan) sebagai dasar pembelaan.

Putusan final tersebut akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada 30 November 2022. Kemudian akan dimasukkan dalam agenda DSB pada 20 Desember 2022.

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published.