Pemerintah mendorong penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dengan menaikan biaya jual ekspor listrik dari 65 persen menjadi 100 persen, kebijakan tersebut dipandang akan memberatkan negara.
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, harga PLTS Atap jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pembangkit lain. Biaya Pokok Produksi (BPP) untuk PLTU hanya Rp 700-Rp 900 per KWh, sedangkan untuk PLTS Atap adalah sebesar Rp 1400 sesuai Tarif Dasar Listrik (TDL). Kewajiban PLN membeli listrik EBT, dimana selisih dengan pembangkit fosil ditanggung oleh negara.
“Dengan selisih yang cukup besar ini, maka harus ditanggung oleh negara dengan dana kompensasi yang harus dibayarkan kepada PLN sehingga harus menambah postur baru dalam APBN kita. Ini jelas akan menambah beban keuangan negara apalagi jika PLTS Atap sudah naik secara signifikan apalagi tidak ada batasan kapasitas terpasang sehingga tidak ada kepastian neraca daya,” kata Mamit dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (28/8/2021).
Sepertin diketahui, pemerintah berencana untuk melakukan revisi Permen ESDM No 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN jo Permen ESDM No 13/2019 jo No 16/2019 dimana salah satu point yang direvisi adalah Pasal 6 dimana ketentuan ekspor listrik lebih besar dari 65 persen menjadi 100 persen.
“Secara prinsip, skema 1:1 akan mendorong masyarakat untuk berbisnis dengan PLN tapi tidak diperlakukan sebagai entitas bisnis. Padahal, PLN sudah membangun infrastruktur kelistrikan terlebih dahulu.” tutur Mamit.
Mamit pun menyoroti kondisi kelistrikan saat ini yang sudah kelebihan pasokan, di sisi lain konsumsi listrik nasional belum tumbuh sesuai dengan pasokan yang ada.
“PLN dipaksa harus menerima listrik dari PLTS Atap yang bisa menyebabkan pertumbuhan konsumsi listrik tidak tumbuh. Jelas ini akan memberatkan PLN apalagi saat ini program 35 GW sudah berjalan dimana skemanya adalah Take or Pay yang belum terserap semua karena system Jawa-Bali sudah berlebihan pasokan listrik,” ucap Mamit.
Mamit menambahkan, PLN juga harus tetap menjaga keandalan listrik bagi konsumen PLTS atap karena sifatnya listrik yang dihasilkan intermittent, serta listrik yang dihasilkan oleh PLTS Atap efektif disiang hari yaitu jam 10 sampai jam 14.
“Jelas ada beban cost yang harus disiapkan oleh PLN karena harus tetap menjaga pasokan listrik ke konsumen. Intemittency ini jadi permasalahan tersendiri karena akan menambah BPP listrik. Saat intermittent ini harus disiapkan pembangkit follower seperti gas atau diesel yang harus tetap standby. Jadi skema 1:1 tidak pas dan cendrung menguntungkan pihak-pihak tertentu,”ungkap Mamit.
Mamit juga menyampaikan, saat ini kandungan TKDN PLTS maksimal 40 persen saja dimana justru akan lebih banyak impor yang dilakukan, dengan demikian multiplier effect tidak bisa dioptimalkan.
“Jangan sampai kita hanya menjadi pasar impor dan penonton saja. Sayang, APBN kita akhirnya hanya mengalir ke produsen dan pengusaha solar panel saja tanpa ada potensi ekonomi yang dihasilkan, padahal kita punya potensi green energy di dalam negeri yang jauh lebih besar, ” imbuh Mamit.
Sumber : www.liputan6.com
No comment yet, add your voice below!