Jakarta, energywatch.or.id – Indonesia masih belum mampu menguasai hulu hingga hilir ekosistem kendaraan listrik. Keterbatasan persediaan mineral seperti grafit dan litium memaksa Indonesia mesti mendatangkannya dari luar negeri. Konsistensi Indonesia dalam hilirisasi kini diuji apabila ingin menguasai pangsa pasar kendaraan listrik dunia.
Menurut Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA), kebutuhan rerata material mineral untuk membuat satu mobil listrik antara lain mencakup 66,3 kilogram grafit, tembaga (53,2 kg), nikel (33,9 kg), mangan (24,5 kg), dan kobalt (13,3 kg). Selain itu, litium (8,9 kg), LTJ (0,5 kg), dan logam lainnya (0,5 kg, termasuk titanium). Kebutuhan bahan baku lainnya adalah aluminium sejumlah 29-250 kg dan baja 40-100 kg per unit mobil listrik.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, untuk mencapai target sebagai pusat baterai dunia, Indonesia tidak bisa sendiri karena masih butuh bantuan dari negara lain. Sejumlah mineral, seperti grafit dan litium yang jumlahnya sedikit dan bahkan tidak ada di Indonesia, akan didatangkan dari negara lain.
”Saat kunjungan ke Australia, sudah dibicarakan bahwa Indonesia punya nikel, mereka punya litium. Hal itu nanti bisa kerja sama. Indonesia akan menjadi pusat (pengolahan), bahan bakunya dari Australia,” ujarnya saat kunjungan ke pabrik PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (11/7/2023).
Dalam kunjungan itu, Zulkifli ditemani Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Lee Sang-deok, Presiden Hyundai Motor ASEAN Headquarters Young Tack-lee, dan Advisor Hyundai Motor ASEAN Headquarters Lee Kang-hyun. Kesempatan itu juga dimanfaatkannya untuk berkeliling dan melihat proses pembuatan mobil listrik pabrikan Hyundai.
Indonesia, kata Zulkifli, memiliki sumber daya bahan baku mobil dan baterai listrik yang melimpah. Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2021, Indonesia memiliki deposit bijih bauksit 2,4 miliar ton, tembaga 12,5 miliar ton, dan kobalt 682 miliar ton basah.
Selain itu, cadangan bijih nikel kadar tinggi 930 juta ton dan kadar rendah 3,6 miliar ton. Ketersediaan material mineral lainnya relatif terbatas, yakni deposit mangan 4,9 juta ton dan titanium–menurut penelitian terbaru ilmenit–potensinya sebesar 761 ton di Pulau Bangka, belum termasuk daerah lainnya seperti Pulau Papua dan Kalimantan.
Meskipun begitu, Zulkifli tidak menampik bahwa tidak semua bahan baku mobil dan baterai listrik tersedia di Indonesia. Karena itu, kerja sama perdagangan antarnegara dibutuhkan untuk menutupi kekurangan tersebut.
Bahan baku yang tak tersedia, misalnya, grafit digunakan sebagai material anoda baterai kendaraan listrik. Kebanyakan baterai litium ion komersial menggunakan grafit karena stabilitas siklus dan densitas energi yang baik.
Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga, apabila Indonesia bercita-cita menjadi pusat kendaraan listrik dunia, ekosistemnya perlu dibangun secara matang. Hal ini mengingat Indonesia baru saja memulai upaya hilirisasi mineral.
”Prosesnya masih panjang dalam mengubah bijih nikel hingga menjadi baterai litium ion, Indonesia belum mampu sampai ke sana. Jadi, secara paralel negara perlu konsisten mendorong hilirisasi dengan membangun fasilitas pengolahan dan penunjangnya,” jelasnya.
No comment yet, add your voice below!