PT PLN (Persero) bersama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) telah menandatangani Principal Framework Agreement (PFA) dalam rangkaian agenda Stated-Owned Enterprises (SOE) International Conference di Bali, beberapa waktu lalu. PFA dilakukan dalam rangka rencana penjualan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu milik PLN ke PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
PLTU yang telah diambil alih Bukit Asam tersebut akan dikurangi masa aktifnya, dengan melibatkan skema pendanaan (green financing) seperti yang dijalankan oleh negara-negara Barat dalam program pengurangan batu bara (coal phase-down).
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai rencana pengalihan tersebut berisiko tinggi. Sebab menurutnya tidak ada dasar hukum saat rencana tersebut benar-benar dilakukan oleh pemerintah.
“Apakah sudah ada dasar hukum terkait dengan pengalihan aset ini? Mengingat mengalihkan aset BUMN ini bukan hal yang mudah meskipun kepada sesama BUMN. Jangan sampai nanti dikemudian hari ada aspek hukum yang dilanggar,” ujar Mamit dalam pernyataannya kepada reporter Tirto, Sabtu (22/10/2022).
Selain dasar hukum, Mamit juga mempertanyakan pelayanan dan kehandalan pembangkit jika diambil alih oleh PTBA. Ia menilai Bukit Asam sendiri merupakan produsen dari batu bara dan tidak mempunyai pengalaman mengoperasikan listrik.
“Apakah nanti pelayanan dan kehandalannya tetap sama saat di pegang oleh PLN?Jangan sampai nanti masyarakat yang dirugikan,” kata dia.
Mamit juga khawatir saat alih kelola ini dilakukan justru akan menambah beban keuangan PLN. Apalagi saat ini kondisi listrik masih oversuplai.
Dengan peralihan ini, lanjut Mamit, justru akan menambah jumlah Independent Power Plant (IPP) yang mana skemanya adalah take or pay (TOP). Maka beban bagi PLN akan bertambah kembali.
“Berbeda cerita dengan saat ini yang masih sepenuhnya milik PLN. Di mana PLN bisa mengatur sendiri operasional PLTU Pelabuhan Ratu sesuai dengan kebutuhan mereka,” jelasnya.
Mamit juga menyampaikan bahwa semangat menuju Net Zero Emission (NZE) 2060 jangan sampai melanggar hukum dan merugikan serta membebani masyarakat.
“NZE itu adalah keniscayaan, tapi semua harus sesuai dengan aturan yang berlaku dengan tetap tidak membebani masyarakat,” kata Mamit.
Wakil Menteri BUMN, Pahala Mansury sebelumnya menyatakan upaya transisi energi di Indonesia salah satunya dilakukan dengan mempercepat transisi energi, dari penggunaan bahan bakar berbasis hidrokarbon menjadi bahan bakar berbasis energi baru dan terbarukan (EBT).
Komitmen pemerintah untuk mempercepat transisi energi dilakukan tidak hanya dengan membahas persoalan transisi energi, melainkan juga dengan melakukan aksi nyata yang melibatkan perusahaan milik negara.
“Dalam skema percepatan pengakhiran PLTU, salah satu yang sedang kami eksplor adalah kerja sama PTBA dan PLN sebagai dua pemain energi. Nanti akan kami lihat opsi, bagaimana jika Bukit Asam masuk jadi investor mengambil alih PLTU milik PLN,” tuturnya dalam diskusi jelang SOE International Conference di Bali, Minggu malam (16/10/2022).
Pada prinsipnya, skema tersebut akan melibatkan pihak ketiga di luar PLN dan Bukit Asam, yakni investor. Pihak ketiga tersebut akan menyediakan pendanaan bagi Bukit Asam untuk mengakuisisi PLTU, tetapi dengan kewajiban pengurangan emisi karbondioksida melalui pemangkasan umur pakai.
“Misalnya setiap tahun ada 7-9 juta ton emisi CO2 yang bisa dikurangi (dari PLTU). Kalau bisa dilakukan pengakhiran 10 tahun lebih awal, diharapkan bisa turunkan emisi total selama 10 tahun itu (setara 70-90 juta ton emisi CO2),” lanjut Pahala.
Dengan demikian, PLTU milik PLN diambil alih oleh PTBA dengan kesepakatan percepatan pengakhiran. Misalnya, umur pakai sebuah PLTU berkapasitas 1,6 Gigawatt (GW) adalah 20 tahun, maka dia dipensiunkan lebih cepat 10 tahun.
Skema lainnya adalah dengan menyediakan pembiayaan murah untuk PLTU milik swasta (independent power producer/IPP) yang mendapatkan pembiayaan murah dalam proses pembangunannya, tetapi dengan pengakhiran lebih cepat.
“Misalnya dia dapat pinjaman biasanya 7 persen, terus dapat bunga lebih murah yakni 4 persen, maka dia bisa akhiri lebih cepat. Tapi nanti ditentukan kapan untuk tidak beroperasi lagi, tapi tetap dibayar, apakah dalam bentuk grant atau kompensasi,” jelas Pahala.
Saat ini pemerintah masih mendiskusikan target pensiun dini pembangkit berbasis batu bara tersebut.
“Misalnya dari 5,5 GW akan ditargetkan apakah dari situ 1,6 GW dari IPP, atau bagaimana. Intinya kami akan lakukan percepatan pengakhiran agar ada pembangkit EBT yang bisa masuk ke sistem,” ujarnya.
No comment yet, add your voice below!