Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan memberikan izin perpanjangan atau relaksasi ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Izin ekspor konsentrat itu mestinya berakhir pada Juni 2023, tapi diperpanjang sampai Mei 2024.
Pemberian relaksasi ekspor ini jelas bertolak belakang dengan sikap Presiden Joko Widodo yang menginginkan adanya hilirisasi di sektor pertambangan. Jokowi pada awal Februari 2023, sempat mengumumkan penghentian ekspor tembaga mentah yang efektif berlaku pada Juni 2023.
Pelarangan ekspor konsentrat itu juga temuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Di mana UU tersebut melarang ekspor tambang dan mineral mentah, tanpa hilirisasi di dalam negeri.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif berasalan, pengecualian pemberian relaksasi izin ekspor tembaga mentah tersebut karena kedua perusahaan itu tengah komitmen menyelesaikan pembangunan smelter-nya.
“[Keputusannya] boleh [ekspor konsentrat tembaga] sampai progresnya komitmen dia untuk menyelesaikan [smelter] dan tidak boleh lebih dari pertengahan tahun depan,” tegas Arifin di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Freeport Indonesia dan Amman Mineral sedang membangun pabrik pengolahan konsentrat tembaga baru di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat yang diperkirakan menelan biaya investasi 982 juta dolar AS atau setara Rp14,7 triliun. Namun pembangunannya sempat mundur dari jadwal karena pandemi COVID-19.
“Kalau konstruksi tidak jalan dampaknya bisa ke ribuan pekerja, kan, di tambang ribuan juga. Kita harapkan kalau sudah ada komitmen harus ada keseriusan untuk selesaikan, karena ini nilai tambah semuanya buat kita. Baru sekarang ini usaha kita gol kan hilirisasi ini secara masif, memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin,” jelas Arifin.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra menjelaskan, kebijakan relaksasi ekspor ini memang menjadi kondisi yang dilematis bagi pemerintah. Karena kebijakan hilirisasi yang sudah digaungkan oleh pemerintah akhirnya tidak konsisten dengan adanya relaksasi.
“Namun kami melihat kebijakan ini dapat terjustifikasi juga karena pertama terkait potensi kerugian negara yang timbul akibat pelarangan ekspor karena saham mayoritas PTFI saat ini dimiliki oleh pemerintah,” jelasnya kepada Wartawan.
“Kedua, adalah ini merupakan collateral impact akibat mundurnya target pembangunan smelter akibat COVID-19,” sambung dia.
Namun, yang perlu dipastikan ke depannya adalah tidak ada lagi toleransi atau relaksasi akibat mundurnya pembangunan smelter. Pemerinrah harus tegas serta mengawal pembangunan smelter kedua perusahaan tambang tersebut.
“Ini yang sama-sama harus kita kawal,” imbuh dia.
No comment yet, add your voice below!