Penerapan SCR, Teknologi Mutakhir Kurangi Emisi PLTU. Hanya Saja!

Upaya mencari teknologi yang tepat untuk mengurangi emisi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terus digaungkan sejumlah pihak. Semakin ke sini, teknologi yang hadir pun terus berkembang dan makin mumpuni untuk mengurangi emisi dari PLTU secara signifikan.

Seperti yang diungkapkan Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, teknologi Selective Catalytic Reduction (SCR) sejauh ini menjadi teknologi yang paling bisa diandalkan untuk mengurangi emisi dan polusi udara dari PLTU.

Mamit Setiawan menuturkan, penerapan teknologi SCR ataupun Carbon Capture (CCUS), bagi banyak kalangan memang bukan dianggap sebagai green energy. Teknologi ini, lanjutnya, merupakan pengembangan dari teknologi dalam rangka mengurangi gas karbon.

“Tapi mengingat untuk pensiun dini pembangkit itu butuh biaya besar, maka pemanfaatan teknologi yang bisa mengurangi karbon, saya kira bagus. Apalagi 2060 kita menuju NZE yang mana energi fosil sebagai energi primer ini bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan dan diganti dengan EBT,” tuturnya, Minggu 13 November.

Hanya saja, kekurangan dari teknologi ini menurutnya adalah investasinya yang besar. Namun, jika dibandingkan dengan early retirement atau pensiun dini terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), teknologi ini masih jauh lebih lebih murah. Mamit menyebutkan, teknologi SCR bisa diandalkan menuju green energy yang dicanangkan pemerintah.

Penggunaan Kendaraan Listrik Dinilai Bakal Meningkat Usai KTT G20, Begini Catatan Energy Watch

Pemerintah gencar mengkampanyekan penggunaan kendaraan listrik di momen pelaksanaan KTT G20. Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan inisiatif pemerintah tersebut akan berdampak positif pada persepsi masyarakat terhadap kendaraan listrik.

Mamit juga optimistis tren penggunaan akan meningkat seiringan dengan digunakannya kendaraan listrik oleh para pemimpin-pemimpin negara G20. Namun, ia memberikan catatan jika pemerintah serius untuk mengkomersilkan kendaraan listrik kepada masyarakat.

Mamit menyarankan pemerintah harus memberikan insentif besar agar harga kendaraan listrik dapat terjangkau masyarakat menengah ke bawah. Ia merasa saat ini bahkan masyarakat kelas menengah tidak mampu membeli kendaraan listrik karena harganya masih terlalu tinggi.

“Yang kedua, pemerintah harus menyiapkan infrastruktur dan SDM untuk mendukung perkembangan EV (Electric Vehicle). Tidak lucu nanti jika saya konversi EV, mogok di jalan, tidak ada bengkel yang bisa perbaiki. Itu kan perlu sertifikasi, sosialisasi, dan pendidikan tersendiri,” kata Mamit

Mamit memproyeksikan pemerintah akan siap dengan segala infrastruktur dan SDM terkait EV pada 2030. Pemerintah juga harus terus mencari cara agar harga kompetitif di pasar untuk menarik minat masyarakat.

Lebih lanjut, Mamit menjelaskan dengan banyak penggunaan kendaraan listrik tidak otomatis membuat BBM ditinggalkan. Sebab, masih banyak kebutuhan masyarakat yang memberdayakan sumber daya tersebut selain untuk kendaraan bermotor. Namun, permintaan penggunaan BBM bakal menurun drastis.

“Buat masak saja contohnya. Pokoknya (BBM) tidak bisa hilang semua, dikurangi bisa. Saya rasa pendanaan akan lebih banyak disalurkan ke energi terbarukan ke depannya, itu saja,” tutur Mamit.

“Saya kira secara demand akan mengarah kesana, sejauh mana nanti kesiapan dan keseriusan pemerintah. Saya rasa jika semua negara menuju green energy, konsumsi BBM pasti akan berkurang drastis,” tambahnya.

DMO Batubara untuk Sektor Kelistrikan Naik Tahun Depan, Energy Watch: Pemerintah Sudah Mempunyai Instrumennya

Target pasokan batubara untuk sektor kelistrikan meningkat di tahun 2023. Lewat surat B-1372/MB.05/DBB.OP/2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menugaskan sebanyak 125 badan usaha yang terdiri atas perusahaan, CV, dan koperasi untuk memasok total 161.155.417 ton batubara untuk sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di tahun 2023. 

Sebagai pembanding, target pemenuhan kebutuhan domestik alias domestic market obligation (DMO) batubara untuk sektor kelistrikan di tahun 2022 ditetapkan sebesar 130 juta ton, sementara target produksi batubara nasional ditetapkan sebesar 663 juta ton di tahun 2022.

Direktur Eksekutif Energi Watch, Mamit Setiawan berujar, Pemerintah sudah mempunyai instrumen secara legal yaitu Keputusan Menteri ESDM Nomor 139 Tahun 2021 dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2022 yang mewajibkan perusahaan pertambangan untuk memenuhi DMO minimal sebesar 25% dari rencana produksi untuk kelistrikan umum dan non-kelistrikan umum serta sanksi bagi pemasok yang tidak memenuhi kewajiban DMO. 

“Selain itu, pemerintah juga sudah mempunyai sistem yang disebut SIMBARA sebagai aplikasi untuk melakukan kontrol terhadap tata niaga batubara. Ke depan, dengan adanya BLU Batubara akan semakin menata tata niaga batubara dalam negeri,” imbuh Mamit

Hasil Uji Lemigas Oktan Pertalite 90,7. Energy Watch: Masih Sesuai Standar dan Mutu

Hasil uji Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (BBPMGB) Lemigas Ditjen Migas Kementerian ESDM mencatat angka oktan (RON) pertalite, yang diambil di SPBU PT Pertamina (Persero), Taman Mini, Jakarta, mencapai 90,7 atau sesuai standar.


Pengujian sampel tahap awal terhadap pertalite itu mencakup 19 parameter uji sesuai Keputusan Direktur Jenderal Migas Nomor No. 0486.K/10/DJM.S/2017 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) BBM Jenis Bensin RON 90, yang Dipasarkan di Dalam Negeri.

“Salah satu parameter ujinya yaitu angka oktan (RON), di mana hasil pengujiannya tidak ada RON Pertalite yang di bawah 90, semuanya di atas RON 90, dan ada juga RON-nya sampai 90,7. Pengujian ini akan terus dilakukan secara lebih luas ke berbagai SPBU lainnya, jadi lebih masif lagi,” ujar Kepala Lemigas Ariana Soemanto dalam keterangan yang dikutip dari Antara, Minggu (6/11).


Pengujian yang diambil Oktober 2022 tersebut sekaligus menjawab pemberitaan di media sosial Twitter, yang menyatakan angka oktan Pertalite lebih rendah dari Revvo 89 yang dipasarkan Vivo.

Ke depan, sambung Ariana, pengujian akan terus dilakukan secara lebih luas ke berbagai SPBU lainnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengungkapkan hasil uji sampel bensin di SPBU bisa beragam dan dapat dimaklumi selama masih sesuai standar dan mutu.

“Paling penting, hasil uji Pertalitenya sudah sesuai standar dan mutu sebagaimana Keputusan Dirjen Migas yakni minimal RON 90. Hasil uji Pertalite, ada juga angka oktannya 90,7, yang diambil langsung di beberapa SPBU pada Oktober 2022,” ujarnya.


Sebelumnya, sempat beredar di sosial media, pasil pengujian BBM pertalite dan Revvo pada beberapa parameter uji, disebutkan RON Pertalite 90,3 dan Revvo 90,7.

“Jika dibandingkan dengan Revvo 89, yang nilai oktannya 90,7, itu diuji pada satu sampel BBM, demikian juga dengan Pertalite, diambil hanya satu sampel,” imbuhnya.

Menurut Mamit, tidak ada yang salah dengan hal tersebut, karena nilai oktan pertalite sebesar RON 90,3 tersebut sudah lebih tinggi dari standar dan mutu Dirjen Migas Kementerian ESDM.

Selain itu, menurut dia, kalau dibandingkan dengan Revvo 89, yang harganya Rp12.600 per liter, maka harga Pertalite Rp10.000 per liter, masih lebih murah.

Kenapa BBM Shell Bisa Lebih Murah dari Pertamina?

Harga bahan bakar minyak (BBM) RON 92 milik SPBU Shell dibanderol lebih murah dibandingkan SPBU Pertamina. Shell menjual BBM Super Rp13.550 per liter, sedangkan Pertamax milik Pertamina Rp13.900 dan Rp14.500 di wilayah tertentu.

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menjelaskan, bahwa itu adalah jenis BBM umum (JBU) yang formulasi harganya diatur dalam Keputusan Menteri ESDM 62/2020, di mana perhitungan menggunakan rata-rata harga publikasi MOPS atau Argus, dengan satuan dolar AS per barel periode tanggal 25 pada 2 bulan sebelumnya, sampai dengan tanggal 24 pada 1 bulan sebelumnya untuk penetapan bulan berjalan.

“Jadi masing-masing badan usaha bisa bermain di margin yang maksimal adalah 10 persen dan juga konstanta alpa yang berada di +Rp1.800,” kata Mamit

Masing-masing badan usaha penyalur BBM akan menyesuaikan harga jual ke masyarakat dengan biaya distribusi, biaya penyimpan sehingga membuat harga menjadi lebih murah.

“Sebagaimana kita ketahui bahwa jumlah SPBU Shell ini masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan SPBU Pertamina yang mana biaya distribusinya pasti akan berbeda,” tutur Mamit.

Selain itu, dia berpendapat bahwa Shell menjual BBM lebih murah dari Pertamina mungkin sebagai upaya untuk mendapatkan pelanggan dari Pertamina atau SPBU swasta lainnya.

“Saya kira harga Shell RON 92 yang lebih murah dari Pertamax adalah keuntungan bagi masyarakat,” ujarnya.

Pertamina merilis harga BBM terbaru yang berlaku mulai hari ini, 1 November. Ada kenaikan harga pada BBM jenis Dexlite dan Pertamina Dex, dan Pertamax Turbo turun harga. Sementara itu, harga Pertalite, Pertamax, dan Biosolar tak mengalami perubahan. Berikut rinciannya:

Pertalite Rp10.000
Pertamax: Rp13.900-Rp14.500
Pertamax Turbo: Rp14.300-Rp14.600
Pertamina Dex: Rp18.550-Rp19.350
Dexlite: Rp18.000-Rp18.700
Biosolar: Rp6.800

Harga BBM Shell juga mengalami penyesuaian per 1 November. Super turun dari Rp14.150 per liter menjadi Rp13.550, V-Power turun dari Rp14.840 menjadi Rp14.210, V-Power Nitro+ turun dari Rp15.230 menjadi Rp14.560, V-Power Diesel naik dari Rp18.450 menjadi Rp18.840. Berikut rinciannya:

Jakarta, Banten, Jawa Barat
Shell Super Rp13.550
Shell V-Power Rp14.210
Shell V-Power Diesel Rp18.840
Shell V-Power Nitro+ Rp14.560

Jawa Timur
Shell Super Rp13.550
Shell V-Power Rp14.210
Shell Diesel Extra Rp18.380
Shell V-Power Nitro+ Rp14.560

Sumatera Utara
Shell Super Rp13.840
Shell V-Power Rp14.520
Shell Diesel Extra Rp18.780

Selain itu, Mamit mengatakan harga jual BBM jenis RON 92 oleh Shell telah disesuaikan dengan biaya distriusi dan penyimpanan yang cenderung lebih kecil dibandingkan biaya yang dikeluarkan Pertamina. Alasannya, SPBU Shell masih sedikit dan belum tersebar ke seluruh Indonesia seperti halnya Pertamina. Faktor itu, kata Mamit, sebagai pertimbangan mengapa Pertamina masih mempertahankan harga Pertamax di Rp13.900 per liter.

“Jika dibandingkan dengan SPBU Pertamina, biaya distribusinya pasti akan berbeda dengan Shell. Pertamina pasti berhitung dengan kondisi saat ini. Apalagi mereka menjual BBM tidak hanya di kota besar, tapi seluruh wilayah Indonesia,” jelasnya.

Oleh sebab itu, Mamit mengimbau agar SPBU swasta seperti Shell juga turut meratakan cabangnya di berbagai wilayah Indonesia. Alih-alih hanya menjalankan bisnisnya di kota-kota besar yang konsumen BBM nya padat.

Di Balik Dapur Makin Ngebul Tanpa Asap Motor Mengepul, Ada Pertamina dong

Ambisi pemerintah untuk menekan emisi karbon terlihat dari peningkatan target pengurangan emisi karbon dalam enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, dari 29% menjadi 31,89% dengan kemampuan sendiri dan menjadi 43,20% dengan dukungan Internasional dari sebelumnya hanya 41% pada 2030.

Di sini, PT Pertamina (Persero) punya peran yang sangat penting dan strategis dalam menjadi penyokong Indonesia menuju nol emisi karbon di 2060. Di 2020 sendiri, Pertamina sudah berhasil menurunkan emisi 27,08% dan menargetkan pengurangan emisi 30% pada 2030.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mendukung dengan apa yang dilakukan oleh Pertamina. Menurutnya, infrastruktur kendaraan listrik di Indonesia saat ini memang dinilai masih cukup minim.

Ke depan diharapkan terus dilakukan penambahan, mengingat tren penggunaan kendaraan listrik akan semakin besar. Karena itulah Pertamina punya peran yang cukup besar.

“Harus disiapkan dari sekarang tapi populasi kendaraan listrik juga belum terlalu besar. Saya kira ini akan berjalan berkesinambungan ke depannya,” kata Mamit Setiawan.

Selain pengembangan infrastruktur, menurut Mamit perlu dikembangkan berbagai insentif terutama dari sisi harga. Hal itu agar menarik minat masyarakat sehingga mau beralih ke kendaraan listrik dengan harga terjangkau.

“Lalu desain kendaraan harus benar-benar bisa menarik masyarakat Indonesia yang bisa muat banyak, infrastruktur jalan harus diperbaiki, disiapkan banyak SPKLU ke depannya, tempat pengisian baterai juga harus diperbanyak tidak hanya di SPBU tapi juga di tempat nongkrong atau di mana,” sarannya.

Rencana Akuisi PLTU Pelabuhan Ratu Berpotensi Menguras Keuangan PT BA

Terkait dengan rencana akuisisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Pelabuhan Ratu milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) oleh PT Bukit Asam (PT BA) mendapat sorotan dari Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan perihal besarnya nilai akuisi ini akan memberatkan keuangan dari PT Bukit Asam (PT BA) mengingatnya jumlahnya mencapai US$ 800 juta, maka dengan asumsi menggunakan kurs dollar Rp 15.500/dollar AS maka nilai transaksi setara dengan Rp 12,4 triliun.

“Jumlah tersebut setara dengan 55% modal PT BA yaitu Rp 22,7 T jika mengacu kepada laporan keuangan semester I-2022. Hal ini akan berdampak terhadap penurunan pembagian dividen PT BA kepada investor sehingga berdampak negatif terhadap harga saham PT BA di bursa,” jelas Mamit dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Mamit, mengingat potensi akuisisi ini di danai oleh kas PT BA sangat besar sekali, mengingat saat ini lembaga pembiayaan lebih tertarik untuk memberikan pinjaman kepada pekerjaan yang mengarah ke green energy dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Meskipun akuisisi ini dalam rangka mempercepat pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu, tapi tetap pada prinsipnya akusisi ini adalah ke arah energi fosil dalam hal ini batu bara. Akan sulit untuk mendapatkan pinjaman bagi PT BA terkait dengan rencana ini,”urai dia.

Dia pun berharap ditengah sedang bagusnya kinerja keuangan PT BA karena naiknya harga komoditas batu bara, akan langsung anjlok karena ambisi yang tidak sesuai dengan core bisnis dari PT BA sebagai produsen batu bara, bukan pemain di pembangkit listrik.

“Karena sesuatu yang bukan bidangnya kemudian dipaksa dilakukan, maka pasar menilai negatif dan investor akan lari sehingga keuangan PT BA akan terganggu. Hal bisa mengganggu kinerja operasional PT BA dalam meningkatkan produksi batubara ditengah durian runtuh tingginya harga batubara saat ini,” menurut Mamit.

Selain itu, Mamit juga menyatakan kekhawatirannya terkait kehandalan PT BA dalam menyalurkan listrik ke masyarakat karena mereka tidak pernah mengoperasikan pembangkit secara langsung.

“Jangan sampai nanti masyarakat yang dikorbankan dengan kurangnya pengalaman PT BA di pembangkitan. Padahal kita tahu bahwa listrik saat ini merupakan komponen utama dalam meningkatkan perekonomian masyarakat,”pungkas Mamit

Nasib Pertalite Jika Vivo Jual BBM Revvo RON 90

PT Vivo Energy Indonesia dikabarkan bakal menjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Revvo RON 90 dalam waktu dekat ini. BBM baru keluaran swasta itu akan bersaing dengan BBM Pertalite milik Pertamina yang memiliki nilai oktan sama.

Apakah kehadiran BBM Vivo RON 90 bisa membuat Pertalite kalah saing?

Sejak BBM Pertalite nak harga menjadi Rp 10.000 per liter, banyak pengendara yang beralih ke BBM Vivo Revvo 89 seharga Rp 11.600 per liter.

Direktur Energy Watch Mamit Setiawan menilai kehadiran BBM Vivo RON 90 bisa menguntungkan masyarakat karena memberikan banyak pilihan harga BBM.

“Kalau nanti (harga BBM) Revvo lebih murah, kenapa tidak?” ujar Mamit di Jakarta Selatan, Rabu, 13 Oktober 2022.

Kontra dengan pernyataan Marwan, Mamit mengatakan langkah Vivo menghadirkan BBM setara Pertalite tidak akan menggeser pasar Pertamina. Mamit justru mendukung penjualan BBM produksi swasta dengan catatan, produk tersebut mampu bersaing dengan produk BBM pemerintah.

“Berapa sih jumlah SPBU Vivo? Bisa dihitung jari, paling banyak di Jabodetabek. Kalaupun menggerus (pasar Pertamina), itu tidak akan signifikan,” tutur Mamit.

Menkeu AS Sebut Keputusan OPEC+ Akan Berdampak Besar, Bagaimana dengan RI?

Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen mengatakan, keputusan OPEC+ untuk memangkas pasokan minyak hingga 2 juta barel per hari (BOPD) akan berdampak besar, terutama bagi negara-negara berkembang.

Mengutip Financial Times, Senin (10/10), Yellen menyebut keputusan OPEC+ tersebut sangat lah tidak membantu dan tidak bijaksana bagi ekonomi global.

“Kami sangat khawatir tentang negara berkembang dan masalah yang mereka hadapi,” tutur Yellen. Tak hanya itu ia juga mengkritik sekutu yang lambat mengirim bantuan keuangan ke Ukraina.

“Laju pengiriman uang ke Ukraina terlalu lambat,” tambah Yellen.

Adapun negara-negara pengekspor minyak atau OPEC+ memutuskan untuk memangkas target produksi sebesar 2 juta barel per hari (BOPD) per November 2022.

Pemangkasan produksi dilakukan demi mengimbangi ketidakpastian ekonomi dan pasar minyak dunia, di tengah harga minyak yang terus melemah.

Alhasil, dikutip dari Reuters, Senin (10/10), minyak Brent berjangka naik 3,7 persen, menjadi USD 97,92 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik 4,7 persen, berakhir di USD 92,64.

Lalu, bagaimana dampak dari keputusan OPEC+ tersebut kepada perekonomian Indonesia?

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menjelaskan, pemangkasan setara 2 persen pasokan global tersebut pasti akan memicu kekhawatiran suplai yang mengetat, meskipun saat ini permintaan masih belum normal karena resesi ekonomi di beberapa negara.

“Pemangkasan ini saya kira pada posisi yang kurang tepat karena sebentar lagi akan memasuki musim dingin serta natal dan tahun baru yang kebutuhan akan energi bisa mengalami peningkatan,” ujarnya kepada kumparan

Mamit melanjutkan, keputusan OPEC+ itu akan memicu kenaikan harga minyak dunia ke level yang cukup tinggi sampai akhir tahun ini. Menurut dia, Indonesia sebagai net importir minyak otomatis akan sangat terdampak.

Dampak pertama, lanjut dia, adalah biaya pokok penyediaan BBM akan terus meningkat sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia. Kondisi ini diperparah dengan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS.

“Dengan demikian untuk BBM umum (JBU/BBM nonsubsidi) saya kira bulan depan akan terjadi koreksi kembali terhadap harga,” ungkap Mamit.

Meski begitu, Mamit memprediksi pemerintah tidak akan melakukan penyesuaian harga BBM subsidi, yaitu Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.

“Untuk BBM JBT dan JBKP saya kira pemerintah akan tetap menahan harga seperti saat ini agar tetap menjaga daya beli masyarakat serta pertumbuhan ekonomi,” imbuh dia.

Selain berdampak kepada harga BBM di dalam negeri, keputusan OPEC+ juga dinilai akan memengaruhi sektor hulu migas Indonesia. Mamit menilai, sektor hulu akan menyambut positif dengan upaya peningkatan produksi untuk menambah penerimaan negara.