Soal Indonesia Kalah di Gugatan WTO, Energy Watch: Ini Sumber Daya Kita, Lawan!

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyatakan Indonesia tidak perlu takut meski kalah dalam gugatan larangan ekspor nikel di World Trade Organization atau WTO. Indonesia juga tidak perlu khawatir soal dampak jangka panjang yang mengintai buntut keputusan ini.

“Ini sumber daya alam kita. Mengapa mesti takut dengan mereka? Kita lawan,” ujar Mamit.

Dia juga meminta para investor yang akan masuk ke Indonesia tidak perlu khawatir. Pasalnya, keputusan WTO belum final. Artinya, pemerintah masih memiliki kesempatan untuk melawan dengan mengajukan banding. Karena itu dia mendukung langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk tidak hanya diam dan memintanya segara berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengambil langkah selanjutnya.

Mamit berujar nikel menjadi sumber daya alam kebanggaan Indonesia yang sangat dibutuhkan untuk transisi energi.  “Ini hasil alam kita, masak harus kita tunduk dengan aturan yang merugikan. Jangan karena kita negara berkembang maka kita yang ditekan,” ujar Mamit.

Menurutnya, Uni Eropa mesti berlaku fair. “Kalau mau, mereka berinvestasi di Indonesia,” imbuh Mamit.

Saat ini, Mamit melanjutkan, meski 90 persen tambang nikel dikuasai Cina, multiplier effect untuk Indonesia bisa terlihat. Misalnya dari ekonomi daerah yang bertumbuh. Selain itu, tenaga kerja Indonesia juga terserap dan negara mendapat manfaat dari hilirisasi ini.

Oleh karena itu, Mamit menyarankan agar hilirisasi nikel di Indonesia dilakukan secara end to end. Artinya, tidak hanya barang seperempat jadi dijual ke Cina, lalu masuk kembali ke Indonesia sebagai barang jadi dan Indonesia menjadi konsumen saja. Namun, pengolahan nikel mestinya diolah dari hulu ke hilir dan 100 persen dibuat di Indonesia.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif memang mengatakan pemerintah bakal mengajukan banding karena menilai keputusan panel belum memiliki keputusan tetap. “Masih ada peluang untuk banding dan tidak perlu mengubah peraturan  atau bahkan mencabut kebijakan yang tidak sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi DSB,” ujar Arifin dalam Raker dengan Komisi VII DPR RI, Senin, 21 November 2022.

Adapun peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO, yakni UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019 perubahan kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Selanjutnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Terakhir, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Dalam hasil putusan final tersebut disebutkan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994. Panel juga menolak pembelaan yang diajukan Pemerintah Indonesia terkait keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (aspek lingkungan) sebagai dasar pembelaan.

Putusan final tersebut akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada 30 November 2022. Kemudian akan dimasukkan dalam agenda DSB pada 20 Desember 2022.

Sejumlah Perusahaan Migas Asing Hengkang dari Indonesia

Sejumlah perusahaan minyak dan gas kelas dunia (global company) disebut-sebut sebagai hengkang dari industri hulu migas di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah kondisi lapangan migas di Indonesia sudah cukup tua.

“Sejauh ini, industri migas di Indonesia dikuasai oleh Pertamina. Tetapi, masih cukup banyak perusahaan-perusahaan migas global yang beroperasi di Indonesia,” ujar Pengamat Energi Mamit Setiawan dalam Zona Bisnis BN Channel, Rabu (23/11/2022).

Pengamat Energi Mamit Setiawan mengungkapkan bahwa saat ini global sedang menuju transisi energi. Hal itu membutuhkan investasi yang cukup besar. 

Salah satu kendala yang menyebabkan banyak perusahaan migas hengkang dari Indonesia, yakni revisi UU Migas yang sampai saat ini belum selesai dibahas. Undang-undang tersebut ditargetkan selesai Juli 2023. 

Energy Watch: Penghapusan Subsidi BBM akan Mengorbankan Rakyat

Pemerintah diminta tidak terburu-buru dalam upaya penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri. Ini menyusul kesepakatan pimpinan negara-negara G20, termasuk Indonesia yang sepakat untuk menghapus subsidi BBM guna mencapai energi bersih.

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan, menekankan, pada dasarnya subsidi BBM diberikan oleh pemerintah tujuannya adalah dalam rangka peningkatan ekonomi kepada masyarakat. Jangan sampai, kata dia, ketika menuju energi bersih dan menghapus subsidi BBM malah mengorbankan masyarakat.

“Kita tidak perlu terburu buru ya. Kenapa? Karena subsidi diberikan kepada masyarakat rentang demi meningkatkan masyarakat dan membantu menahan daya beli mereka,” kata dia.

Menurutnya, Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara G20 lain bahkan G7 yang sudah maju. Di mana mereka tidak perlu memberikan subsidi kepada masyarakatnya lantaran seluruh pendapatan mereka tumbuh di negara masing-masing.

“Saya kira jika masyarakat kita tidak benar-benar diberikan subsidi itu akan menambah beban bagi perekonomian masyarakat. Dan bisa juga meningkatkan melemahnya perekonomian nasional dan berdampak kepada pengangguran dan lain lain,” jelasnya.

Atas dasar itu, dia meminta kepada pemerintah agar membuat kebijakan secara hati-hati terutama yang menyangkut dengan banyak orang. Jika memang kondisi negara dan masyarakat sudah siap baru bisa diimplementasikan.

“Hanya saja perlu diperhatikan mekanisme subsidi saat ini subsidi terbuka ke depan harus dibuat dengan tertutup sehingga subsidi ini tepat sasaran. Tapi tidak dihapuskan serta merta dalam waktu dekat ini. Saya tidak setuju,” tegasnya.

Sebelumnya, para pimpinan negara G20 sepakat untuk menghapus subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) guna mencapai target energi bersih dan berkelanjutan. Pernyataan bersama itu tertuang dalam poin deklarasi para pemimpin negara G20 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), di Bali.

Dalam poin 12 dari 52 poin disepakati, G20 menegaskan komitmennya tersebut guna mencapai target SDG 7. Kemudian berupaya menutup kesenjangan energi akses sehingga diharapkan bisa memberantas kemiskinan energi.

Menyadari peran kepemimpinan G20, dan dipandu oleh Bali Compact dan Peta Jalan Transisi Energi Bali, kepala negara berkomitmen untuk mencari solusi untuk mencapai stabilitas pasar energi, transparansi, dan keterjangkauan.

“Kami akan meningkatkan upaya kami untuk mengimplementasikan komitmen tersebut dibuat pada tahun 2009 di Pittsburgh untuk menghapus dan merasionalisasi, dalam jangka menengah, tidak efisien subsidi bahan bakar fosil yang mendorong konsumsi boros dan berkomitmen untuk mencapainya tujuan, sambil memberikan dukungan yang ditargetkan untuk yang paling miskin dan paling rentan,” tulis deklarasi tersebut dikutip Tirto, Jumat (18/11/2022).

G20 akan mempercepat transisi dan mencapai tujuan iklim kita dengan memperkuat rantai pasokan energi dan keamanan energi, dan diversifikasi bauran dan sistem energi.

Para pemimpin juga akan dengan cepat meningkatkan penyebaran pembangkit listrik nol dan rendah emisi, termasuk sumber daya energi terbarukan, dan langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi energi, teknologi pengurangan serta teknologi penghilangan, dengan mempertimbangkan keadaan nasional.

Transisi Energi di Indonesia Butuh Komitmen Negara Maju

WORLD Bank menyatakan siap mendukung langkah transisi energi di Indonesia guna mengurangi emisi karbon, antara lain melalui pembangunan energi baru terbarukan seperti energi surya, angin, dan hydro.

Hal itu terungkap saat Managing Director of Operations World Bank Axel van Trotsenburg bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di sela-sela Business 20 Summit di Nusa Dua, Bali, kemarin.

“Indonesia saat ini sedang mengembangkan energi hydro di kawasan Kalimantan Utara. Nantinya listrik yang dihasilkan tidak hanya diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan Indonesia, namun dapat dijual ke Brunei Darussalam dan Filipina,” ungkap Menko Airlangga.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan harus terus dikejar realisasinya. “Komitmen bantuan dari negara atau lembaga dunia harus dikejar, jangan hanya jadi sekedar wacana,” kata Mamit saat berbincang hari ini.

Dia menjelaskan, dunia saat ini bergerak pada penggunaan energi bersih. Namun perlu kerjasama antar semua pihak untuk menuju target Net Zero Emission (NZE).

“Energi terbarukan adalah sebuah keniscayaan, semua sedang menuju kesana. Dan banyak negara G20 berkomitmen untuk menuju NZE, dan concernnya untuk menuju kesana dibutuhkan biaya yang tidak sedikit,” jelas Mamit. Maka kehadiran investor maupun bantuan dari lembaga dunia mutlak untuk meraih target tersebut.

Berdasarkan Perjanjian Paris, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030 sesuai Nationally Determined Contributions (NDCs). Dan untuk Net Zero Emission (NZE) sektor energi ditargetkan akan dicapai pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Di Bali, Direktur Bank Dunia Axel van Trotsenburg mengatakan, “Dukungan World Bank terhadap reformasi ekonomi Indonesia telah terjalin sejak lama melalui berbagai program kerja sama. Dengan adanya kebutuhan global untuk menangani perubahan iklim saat ini, World Bank siap mendukung langkah transisi energi di Indonesia guna mengurangi emisi karbon, antara lain melalui pembangunan energi baru terbarukan seperti energi surya, angin, dan hydro,” tutur Trotsenburg.

Forum B20 Bahas EBT, Energi Fosil Dilupakan?

Pelaksanaan B20 Summit Indonesia 2022 yang diselenggarakan pada 13-14 November 2022 turut mengangkat isu soal transformasi menuju energi baru terbarukan (EBT). Dalam hal ini, Pemerintah RI merayu investor top dunia untuk mau menanamkan modalnya di Tanah Air.

Upaya itu berbuah manis dengan adanya sejumlah nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU), seperti kerjasama antara PLN dan Amazon untuk proyek EBT berkapasitas 210 megawatt (MW).

Namun, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mencermati, pelaksanaan B20 Summit 2022 ini nampaknya melupakan satu hal yang kini justru jadi perdebatan sengit, soal energi fosil semisal minyak.

Menurut dia, pelaksanaan B20 Summit kali ini seakan mengulangi formalitas serupa pada pembahasan-pembahasan di tahun sebelumnya, yang berputar pada perkara transisi energi.

“Dengan demikian masa depan energi fosil sepertinya tidak dianggap dalam B20 ini. Padahal sampai saat ini energi fosil masih menjadi isu utama dalam perekonomian global,” kecam Mamit, Selasa (15/11/2022).

“Runtuhnya ekonomi global saat ini karena tingginya harga minyak dan gas serta batubara yang notabene adalah energi fosil,” tegas dia.

Seharusnya, ia menekankan, selain berbicara tentang energi bersih semustinya dipikirkan juga soal kondisi ekonomi global saat ini. Terlebih dengan adanya konflik geopolitik Rusia-Ukraina, yang menekan harga komoditas energi fosil, sehingga mengancam terjadinya gelombang resesi pada 2023 mendatang.

“Jadi, jangan dipinggirkanlah isu ini. Energi bersih adalah keniscayaan, tapi energi fosil masih menjadi pilihan utama saat ini. Selain itu, perlu di-highlight bahwa untuk menuju green energy butuh biaya besar. Perlu dukungan dan kerjasama semua pihak agar NZE bisa berjalan sesuai dengan rencana,” ungkapnya.

“Komitmen negara maju untuk membantu negara berkembang termasuk kita dalam menuju NZE adalah keharusan. Jangan hanya menjadi wacana saja,” pinta Mamit.

Mamit lantas coba mewajari, absennya pembahasan mengenai minyak dan energi fosil dalam forum B20 Indonesia jadi cara untuk meredakan tensi atas isu sensitif tersebut jelang KTT G20 yang bakal digelar 15 November 2022 besok.

“Padahal isu resesi sudah mereka gaungkan sendiri. Kenapa ini (minyak dan energi fosil) bukan jadi pembahasan utama,” keluh Mamit.

Luar Biasa, Peringkat Resiko ESG Pertamina di Peringkat 2

Pada Oktober 2022, Pertamina menerima Peringkat Risiko ESG 22.1 dari Lembaga ESG Rating Sustainalytics dan dinilai berada pada tingkat risiko Medium dalam mengalami dampak keuangan material dari faktor-faktor ESG.
Peringkat Risiko ESG menempatkan Pertamina berada di peringkat 2 (dua) secara global dalam sub-industri Integrated Oil & Gas oleh Sustainalytics, yang mana posisi ini melonjak tinggi dari peringkat nomor 8 dari 54 perusahaan yang sama di tahun 2021.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menyampaikan ucapan selamat atas hasil yang diraih oleh Pertamina tersebut. Hal mengingat dalam mengelola dan menjalankan Environmental, Social and Governance (ESG) pada perusahaan sebesar Pertamina adalah tidak mudah.

“Dengan kegiatan perusahaan yang dimulai dari hulu, midstream dan hilir yang sedemikian besar dan kompleks, Pertamina mampu mengelola secara prudent dan berkesinambungan sehingga bisa mendapatkan peringkat 2 secara global dalam sub-industri Integrated Oil & Gas oleh Sustainalytics maka sudah selayaknya kita memberikan apresiasi yang tinggi atas keberhasilan ini,” ujar Mamit dalam keterangan tertulisnya.

Pertamina yang menerapkan prinsip ESG dalam praktik bisnis dan investasinya berarti akan turut mengintegrasikan serta mengimplementasikan kebijakan perusahaan, sehingga selaras dengan keberlangsungan tiga konsep tersebut. Melalui penerapan ESG yang baik, maka Pertamina mendapatkan perhatian dari para investor dalam berinvestasi mendukung kegiatan Pertamina.

“Ditengah proses transisi energi yang saat ini berlangsung dan target menuju NZE 2060, investor sangat memperhatikan penerapan ESG dalam suatu perusahaan. Perusahaan yang menjalankan konsep dan implementasi kriteria ESG telah menjadi pertimbangan dasar bagi para investor dalam melakukan pengambilan keputusan untuk berinvestasi atau tidaknya dalam suatu bisnis atau perusahaan. Mereka akan melihat sejauh mana konsep berkesinambungan dalam bisnis suatu perusahaan. Dengan naiknya peringkat Pertamina dalam menjalankan prinsip ESG maka bisa meningkatkan daya saing Pertamina dengan perusahaan migas negara lain,” urai Mamit.

Dia juga mengungkapan bahwa pada dasarnya penerapan ESG tidak hanya untuk menarik investor saja, tetapi juga para pemangku kepentingan, pegiat komunitas, dan para perancang kebijakan dapat menggunakan kriteria Environmental (Lingkungan), Social (Sosial) dan Governance (Tata Kelola Perusahaan) sebagai model dalam melihat manajemen suatu perusahaan.

“Dengan naiknya peringkat Risiko ESG Pertamina ke peringkat 2, hal ini dapat meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan, perancang kebijakan dan masyarakat dalam melihat kinerja Pertamina selama ini sehingga Pertamina akan berupaya untuk terus menjaga dan meningkatkan implementasi ESG dalam semua lini bisnis mereka,” jelas dia.

Mamit juga menyampaikan bahwa konsep investasi hijau dan berkelanjutan dengan menerapkan ESG tidak hanya untuk mengejar keuntungan semata, melainkan juga memperhatikan segi kebermanfaatan perusahaan bagi lingkungan, masyarakat, dan pemerintah yang nyatanya dapat membuat nilai perusahaan naik secara signifikan dalam jangka panjang.

“Dan Pertamina mampu dalam membuktikan konsep investasi hijau dan berkelanjutan ini. Saat ini Pertamina sudah bertransformasi menjadi perusahaan yang lebih ramah lingkungan dengan terus berupaya mengurangi emisi karbon dalam setiap lini kegiatan perusahaan dalam upaya menuju target bauran energi dan net zero emission 2060 yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” pungkas Mamit

Energy Watch: Alih Kelola PLTU PLN ke Bukit Asam Berisiko Tinggi

PT PLN (Persero) bersama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) telah menandatangani Principal Framework Agreement (PFA) dalam rangkaian agenda Stated-Owned Enterprises (SOE) International Conference di Bali, beberapa waktu lalu. PFA dilakukan dalam rangka rencana penjualan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu milik PLN ke PT Bukit Asam Tbk (PTBA).

PLTU yang telah diambil alih Bukit Asam tersebut akan dikurangi masa aktifnya, dengan melibatkan skema pendanaan (green financing) seperti yang dijalankan oleh negara-negara Barat dalam program pengurangan batu bara (coal phase-down).

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai rencana pengalihan tersebut berisiko tinggi. Sebab menurutnya tidak ada dasar hukum saat rencana tersebut benar-benar dilakukan oleh pemerintah.

“Apakah sudah ada dasar hukum terkait dengan pengalihan aset ini? Mengingat mengalihkan aset BUMN ini bukan hal yang mudah meskipun kepada sesama BUMN. Jangan sampai nanti dikemudian hari ada aspek hukum yang dilanggar,” ujar Mamit dalam pernyataannya kepada reporter Tirto, Sabtu (22/10/2022).

Selain dasar hukum, Mamit juga mempertanyakan pelayanan dan kehandalan pembangkit jika diambil alih oleh PTBA. Ia menilai Bukit Asam sendiri merupakan produsen dari batu bara dan tidak mempunyai pengalaman mengoperasikan listrik.

“Apakah nanti pelayanan dan kehandalannya tetap sama saat di pegang oleh PLN?Jangan sampai nanti masyarakat yang dirugikan,” kata dia.

Mamit juga khawatir saat alih kelola ini dilakukan justru akan menambah beban keuangan PLN. Apalagi saat ini kondisi listrik masih oversuplai.

Dengan peralihan ini, lanjut Mamit, justru akan menambah jumlah Independent Power Plant (IPP) yang mana skemanya adalah take or pay (TOP). Maka beban bagi PLN akan bertambah kembali.

“Berbeda cerita dengan saat ini yang masih sepenuhnya milik PLN. Di mana PLN bisa mengatur sendiri operasional PLTU Pelabuhan Ratu sesuai dengan kebutuhan mereka,” jelasnya.

Mamit juga menyampaikan bahwa semangat menuju Net Zero Emission (NZE) 2060 jangan sampai melanggar hukum dan merugikan serta membebani masyarakat.

“NZE itu adalah keniscayaan, tapi semua harus sesuai dengan aturan yang berlaku dengan tetap tidak membebani masyarakat,” kata Mamit.

Wakil Menteri BUMN, Pahala Mansury sebelumnya menyatakan upaya transisi energi di Indonesia salah satunya dilakukan dengan mempercepat transisi energi, dari penggunaan bahan bakar berbasis hidrokarbon menjadi bahan bakar berbasis energi baru dan terbarukan (EBT).

Komitmen pemerintah untuk mempercepat transisi energi dilakukan tidak hanya dengan membahas persoalan transisi energi, melainkan juga dengan melakukan aksi nyata yang melibatkan perusahaan milik negara.

“Dalam skema percepatan pengakhiran PLTU, salah satu yang sedang kami eksplor adalah kerja sama PTBA dan PLN sebagai dua pemain energi. Nanti akan kami lihat opsi, bagaimana jika Bukit Asam masuk jadi investor mengambil alih PLTU milik PLN,” tuturnya dalam diskusi jelang SOE International Conference di Bali, Minggu malam (16/10/2022).

Pada prinsipnya, skema tersebut akan melibatkan pihak ketiga di luar PLN dan Bukit Asam, yakni investor. Pihak ketiga tersebut akan menyediakan pendanaan bagi Bukit Asam untuk mengakuisisi PLTU, tetapi dengan kewajiban pengurangan emisi karbondioksida melalui pemangkasan umur pakai.

“Misalnya setiap tahun ada 7-9 juta ton emisi CO2 yang bisa dikurangi (dari PLTU). Kalau bisa dilakukan pengakhiran 10 tahun lebih awal, diharapkan bisa turunkan emisi total selama 10 tahun itu (setara 70-90 juta ton emisi CO2),” lanjut Pahala.

Dengan demikian, PLTU milik PLN diambil alih oleh PTBA dengan kesepakatan percepatan pengakhiran. Misalnya, umur pakai sebuah PLTU berkapasitas 1,6 Gigawatt (GW) adalah 20 tahun, maka dia dipensiunkan lebih cepat 10 tahun.

Skema lainnya adalah dengan menyediakan pembiayaan murah untuk PLTU milik swasta (independent power producer/IPP) yang mendapatkan pembiayaan murah dalam proses pembangunannya, tetapi dengan pengakhiran lebih cepat.

“Misalnya dia dapat pinjaman biasanya 7 persen, terus dapat bunga lebih murah yakni 4 persen, maka dia bisa akhiri lebih cepat. Tapi nanti ditentukan kapan untuk tidak beroperasi lagi, tapi tetap dibayar, apakah dalam bentuk grant atau kompensasi,” jelas Pahala.

Saat ini pemerintah masih mendiskusikan target pensiun dini pembangkit berbasis batu bara tersebut.

“Misalnya dari 5,5 GW akan ditargetkan apakah dari situ 1,6 GW dari IPP, atau bagaimana. Intinya kami akan lakukan percepatan pengakhiran agar ada pembangkit EBT yang bisa masuk ke sistem,” ujarnya.

Energy Watch Beberkan Kendala Listrik Tenaga Surya: Belum Ada Teknologi Baterai Murah

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menjelaskan kendala pengembangan listrik tenaga surya atau matahari. Saat ini, pengembangan tersebut masih bersifat intermitten on grid.

Mamit mengatakan masih dibutuhkan penyimpanan energi untuk menjadikan energi surya sebagai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) off grid yang harganya masih tinggi. “Energy storege itu baterai. Saat ini komponen termahal energi baru terbarukan atau EBT adalah baterai. Bahkan, 50 persen dari total biaya adalah baterai,” ujar dia saat dihubungi pada Senin, 17 Oktober 2022.

Saat ini, Mamit mengatakan, belum ditemukan teknologi baterai yang lebih murah. Bukan cuma di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain.

“Jadi harus segera ditemukan teknologi baterai yang lebih murah lagi ke depannya dengan penyimpanan yang maksimal. Baterai ini jadi kendala,” kata dia.

Selain itu, kekurangan pengembangan listrik tenaga surya adalah dibutuhkan lahan yang cukup luas untuk mendapatkan sumber energinya. Belum lagi, Mamit berujar, perawatan yang harus mumpuni agar solar panel tetap bisa optimal. 

“Energi juga optimal hanya dari pukul 11.00-14.00 saja, itu pun dengan cuaca yang cerah,” ucap Mamit.

Namun, Mamit menuturkan saat ini semua pihak sedang mengupayakan digitalisasi, termasuk sektor energi. Harapannya, digitalisasi ini akan memudahkan pengembangan sektor energi. “Dan mengikuti perkembangan zaman,” tutur Mamit.

Energy Watch: Kendaraan Listrik Lebih Hemat, tapi Investasi Awal Mahal

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan ongkos kendaraan listrik lebih hemat ketimbang kendaraan berbahan bakar minyak (BBM). Sebab, tarif per kilowatt hour (kwh) kendaraan listrik lebih rendah untuk jarak tempuh yang sama dengan satu liter BBM kendaraan konvensional.

“Selain itu, biaya maintenance juga seharusnya lebih murah. Hanya, investasi awal memang masih mahal karena harga kendaraanya yang jauh lebih tinggi dari kendaraan BBM konvesional di kelas yang sama,” ujar dia saat dihubungi pada Senin, 17 Oktober 2022.

Mamit pun menyarankan pemerintah untuk menerbitkan kebijakan-kebijakan yang menarik sehingga masyarakat bisa beralih ke mobil listrik. Misalnya, kata dia, kelonggaran dari sisi pajak yang  atau kebijakan lain yang membuat masyarakat tertarik.

Mamit juga berpesan agar kendaraan listrik diproduksi di dalam negeri sehingga harganya lebih murah. Dia pun meminta agar dari sisi ketersediaan, stok kendaraan listrik diperbanyak. Sebab saat ini, pemesanan atau inden kendaraan listrik, khususnya mobil listrik, cukup lama.

“Hal ini membuat masyarakat jadi malas untuk beralih,” ucap Mamit.

Hal yang tidak kalah penting, dia berujar, adalah desain dari kendaraan listrik. Menurut Mamit, desain kendaraan listrik, utamanya mobil, harus sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia, tutur dia, umumnya menggemari kendaraan dengan muatan besar atau setara dengan MVP.

Lalu dari sisi infrastruktur, ia menganggap jalan raya untuk laju kendaraan pun harus diperbaiki. Selanjutnya, Mamit menilai infrastruktur lainnya, seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Indonesia yang masih minim perlu ditambah. Apalagi mengingat tren ke depan, penggunaan kendaraan listrik akan meningkat.

Hanya, Mamit mengimbuhkan, minimnya infrastruktur masih dalam kategori yang wajar. “Mengapa? karena memang saat ini populasi kendaraan listrik juga masih belum banyak juga. Intinya infrastruktur harus siap,” kata Mamit.

6 Peringatan Energy Watch soal Aturan Nuklir di RUU EBT

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memperingatkan pemerintah dan DPR soal pengaturan nuklir yang ada di Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT).
Peringatan terkait Pasal 12 ayat satu beleid tersebut yang menuliskan pemerintah pusat dapat menetapkan badan usaha milik negara (BUMN) yang melakukan kegiatan pertambangan bahan galian nuklir.

“Untuk poin penting utamanya ini nuklir, saya kira cukup banyak yang menjadi perhatian pastinya,” ujar Mamit

Ia mengatakan setidaknya ada enam hal yang dinilai harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan aturan ini tentang nuklir ini. Pertama, faktor kesiapan transmisi dan distribusi milik PLN dalam menyerap listrik dari nuklir.

Hal ini penting untuk mengantisipasi jaringan PLN yang tidak siap, seperti terjadi black out, maka bisa berbahaya bagi PLTN.

“Bisa menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,” imbuhnya.

Kedua, faktor safety atau keamanan. Pemerintah harus melihat sejauh mana kesiapan pembangunan PLTN bisa tetap aman dan tidak menimbulkan bencana.

Ketiga, faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Sebab, kegiatan ini sangat beresiko, maka dibutuhkan SDM yang betul-betul mumpuni dan bisa menguasai teknologi nuklir.

Keempat, faktor penanggulangan limbah nuklir. Pemerintah harus bisa memastikan bahwa limbah yang dihasilkan nuklir benar-benar tersimpan dengan aman dan kuat.

Kelima, faktor geografis. Pemerintah juga harus bisa memastikan daerah yang akan dibangun PLTN bebas dari gempa dan gangguan alam yang bisa merusak PLTN.

Keenam, faktor sosialisasi dan penerimaan masyarakat. Dalam hal ini, Mamit menilai pemerintah harus bisa mendapatkan persetujuan masyarakat dalam pembangunan PLTN.