Depo Pertamina Plumpang Terbakar, Energy Watch: Kami Turut Prihatin dan Semoga Bisa Segera Teratasi

Jakarta, Energywatch.or.id – Terjadi kebakaran di Depo Pertamina Plumpang Jakarta Utara pada Jumat, 3 Maret 2023 pukul 20.11 WIB. Kebakaran tersebut belum diketahui penyebabnya. Menurut informasi yang beredar, terjadi kebocoran pipa dekat Komplek Koramil Jl. Tanah Merah Bawah RT.12 RW.9 Rawa Badak Selatan Koja Jakarta Utara.

Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga turut berduka cita atas kejadian kebakaran di Depo Pertamina Plumpang. Dimas juga meminta kepada petugas berwajib untuk menginvestigasi penyebab kebakaran tersebut.

“Saya turut berduka cita dan prihatin atas musibah kebakaran yang terjadi di Depo Pertamina Plumpang, kami percayakan kepada pihak berwajib untuk dapat menindaklanjuti dan menginvestigasi penyebab kebakaran dan untuk saat ini dimohon masyarakat untuk tidak mendekati lokasi kebakaran agar pihak pemadam dapat fokus untuk memadamkan api serta menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak lagi”. Ujar Daymas kepada ruangenergi.com Jumat, (03/03/2023).

Selain itu, Daymas juga meminta kepada masyarakat untuk tidak khawatir dan tidak terpengaruh dengan isu-isu akan terjadinya kelangkaan BBM akibat terbakarnya Depo Pertamina Plumpang dan terjadi kelangkaan pasokan bahan bakar di area Jabodetabek

”Pihak Pertamina juga diharapkan tetap dapat memastikan ketersediaan pasokan bahan bakar khususnya area Jabodetabek pasca terjadinya kebakaran di Depo Plumpang, dan masyarakat tidak perlu khawatir karena pertamina masih memiliki persediaan stok Pertamina di depo area Jabodetabek seperti Tanjung Gurem dan Cikampek,” terang Daymas

Energy Watch: Subsidi Kendaraan Listrik Sudah Tepat

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga menilai bahwa kebijakan subsidi kendaraan listrik sudah tepat karena dinilai akan memberikan multiplier effect dan membantu pemenuhan komitmen pengurangan emisi (ENDC) Indonesia di tahun 2030 hingga sebesar 31,89%.

“Kebijakan ini sudah tepat karena termasuk ke dalam roadmap transformasi kendaraan internal combustion atau konvensional berbahan bakar minyak menjadi kendaraan bermotor listrik dan ini juga pasti akan memberikan multiplier effect tentunya selain akan mengurangi emisi yang merupakan komitmen Pemerintah Indonesia hingga tahun 2030 sebesar 31,89%,” ujar daymas dalam Market Review IDX Channel, Rabu (22/02/2023).

Daymas juga menjelaskan terkait dukungan untuk pembangunan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia

“Pertumbuhan kendaraan bermotor roda dua konvensional ini mencapai 5,2 juta di tahun 2022, namun sudah seharusnya di tahun 2023 pemerintah segera mendukung infrastruktur dan juga ekosistem untuk transformasi kendaraan listrik khususnya roda dua, mengingat jumlah kendaraan bermotor roda dua konvensional saat ini sudah mencapai 120jt unit” jelas Daymas.

Sebelumnya, Pemerintah telah menetapkan insentif atau subsidi motor listrik sebesar Rp 7 juta yang berlaku pada Maret 2023. Hal ini disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di kantor Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi di Jakarta, Senin (20/2/2023).

“Kalau sepeda motor ya kisaran magnitude-nya itu (Rp 7 juta). Kalau roda 4 bentuknya bukan uang (pajak) iya,” kata Arifin.

Pembahasan terkait dengan insentif motor listrik tersebut dilakukan bersama dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Kordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Untung Rugi Harga BBM Pertamax Berubah Tiap Minggu

Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga, menilai penyesuaian harga Pertamax yang akan dilakukan setiap minggu justru tidak baik bagi masyarakat dan iklim investasi di Indonesia.

“Memang penyesuaian harga Pertamax dan JBU lainnya setiap minggu, tidak baik bagi masyarakat maupun iklim investasi di Indonesia. Ini karena fluktuasi harga minyak dunia cenderung tidak stabil dan tidak bisa dipastikan, jadi disini ada unsur uncertainty (ketidakpastian),” kata Daymas

Diketahui saat ini regulasi yang mengatur penyesuaian harga Jenis BBM Umum (JBU) dilakukan setiap bulan. Menurutnya, jika penyesuaian harga BBM nonsubsidi akan dilakukan setiap minggu, maka perlu ada regulasi pemerintah yang mengatur hal tersebut.

“Kecuali yang saya bilang, regulasi pemerintah sudah mengatur hal tersebut, sehingga badan usaha tidak ada keraguan dalam melakukan evaluasi harga setiap minggu,” ujarnya.

Dia menegaskan, rencana penyesuaian harga BBM nonsubsidi memang harus dituangkan dalam regulasi terbaru, untuk mengubah landasan penyesuaian harga JBU yang diatur di Kepmen ESDM nomor 62 tahun 2020.

Terkait untung ruginya, menurut Daymas tentu jika harga minyak dunia naik akan berdampak kepada masyarakat, begitupun sebaliknya apabila harga minyak turun, masyarakat aman.

“Untung ruginya kalau misalnya naik akan berdampak, kalau turun syukur. Tapi rasa-rasanya kalau melihat tren harga minyak dunia yang cenderung bergantung pada isu-isu yang terjadi, apalagi saat ini isu resesi global itu juga mengakibatkan fluktuasi harga minyak yang cenderung naik,” ujarnya.

Lantas, apakah rencana penyesuaian harga BBM nonsubsidi akan diumumkan setiap minggu membuat persaingan semakin kompetitif dengan swasta?

Daymas mengatakan, Pemerintah harus lebih dulu menyusun regulasinya. Jika tidak, maka persaingan akan kurang kompetitif dengan perusahaan BBM swasta.

“Nah, itu dia balik lagi harus ada penyesuaian regulasi yang memang mengatur untuk kenaikan penyesuaian BBM non subsidi,” pungkasnya.

Kerap Terjadi Kecelakaan, Bagamana Standar K3 Smelter Nikel PT GNI?

Sejumlah kalangan menyoroti standar pelaksanaan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dari operasional pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) nikel milik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Hal ini berangkat dari adanya kecelakaan kerja yang berulang hingga sudah ada korban tujuh pekerja yang tewas, bahkan sejak smelter itu masih dalam tahap pembangunan sebelum kemudian diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2021.

Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa kecelakaan kerja yang terjadi secara berulang di Smelter PT GNI mengindikasikan bahwa operasional pabrik pengolahan mineral tersebut belum memenuhi standar K3 internasional yang menganut prinspi nol kecelakaan atau zero accidents.

Fahmy juga menganggap bahwa pengembangan smelter di Indonesia tampaknya mendahulukan aspek kuantitatif produk ketimbang aspek kualitatif seiring adanya kewajiban hilirisasi dan ketetapan larangan ekspor bijih nikel.

“Pemerintah harus mewajibkan standar international dalam setiap pembangunan smelter, yakni standar zero accidents. Aturan itu juga memuat sanksi berupa denda, bukan penghentian operasi smelter,” kata Fahmy saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Senin (2/1).

Menurut Fahmy, PT GNI sebagai pemilik wajib diberi teguran keras dan sanksi berupa denda atas kelalaian manajemen K3 di lingkup area kerja. Selain itu, Fahmy juga mendorong pemerintah dan pihak terkait untuk melaksanakan investigasi menyeluruh atas petaka yang terjadi tanpa harus menghentkan operasional smelter.

“Tentunya tidak bijak menghentikan smelter sebagai sanksi. Apalagi kapasitas smelter nikel belum mencukupi untuk seluruh produksi bijih nikel,” ujar Fahmy.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arrangga, mengatakan manajemen risiko K3 di lingkungan kerja sudah diatur oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sistem Manajemen K3, dan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 245 Tahun 1990.

Dalam aturan tersebut, ujar Daymas, perusahaan memiliki kewajiban untuk menerapkan standar K3 mulai dari identifikasi bahaya, potensi resiko hingga tindakan perbaikan untuk meminimalisir kecelakaan di lingkungan kerja.

“Kalau memang kejadian itu berulang-ulang, apalagi sudah ada korban meninggal dan kerusakan alat, memang harus dilakukan investigasi,” kata Daymas saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Senin (2/1).

Dia menjelaskan, proses investigasi harus menyeluruh untuk mencari bukti soal adanya dugaan human error atau kerusakan alat atau sistem yang tidak memadai, hingga manajemen K3 yang belum mumpuni. “Seharusnya kalau sudah ada korban jiwa ini sudah menjadi lampu merah. Perlu investigasi,” ujar Daymas.

Menurut penelusuran organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan, Trend Asia, tujuh orang pekerja yang tewas di PT GNI terdiri dari dua pekerja bunuh diri yang keduanya adalah warga negara Cina, dan lima pekerja meninggal dunia karena kecelakaan kerja.

Adapun dua dari korban meninggal tersebut yaitu Nirwana Selle dan Made Devri, dua operator alat berat yang terjebak di crane ketika ledakan dari tungku smelter 2 menyebabkan kebakaran pada Kamis 22 Desember 2022.

Harga Pertamax Akan Diumumkan Tiap Pekan? Energy Watch: Ini Tidak Baik

Menteri BUMN Erick Thohir memastikan penyesuaian harga Pertamax akan dilakukan setiap minggu. Adapun sejauh ini, regulasi yang mengatur penyesuaian harga Jenis BBM Umum (JBU) dilakukan setiap bulan.

Menurut Erick, layaknya harga bahan pangan di pasar, masyarakat perlu tahu fluktuasi harga minyak dunia melalui harga BBM. Dia juga menilai, negara selama ini terbebani karena menahan harga Pertamax di bawah harga keekonomian.

“Kita melakukan transparansi data, kan bagus, masyarakat bisa datang, oh harga Pertamax minggu ini turun, kalau naik juga jangan marah. Ini kadang-kadang dipersepsikan seperti itu,” ujarnya saat konferensi pers.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arrangga, menyebut rencana tersebut harus dituangkan dalam regulasi terbaru untuk mengubah landasan penyesuaian harga JBU yakni Keputusan Menteri ESDM No 62 Tahun 2020.

Daymas pun menilai kebijakan penyesuaian harga Pertamax dan JBU lainnya setiap minggu tidak baik bagi masyarakat maupun iklim investasi di Indonesia.

“Ini sebenarnya suatu hal yang kurang baik untuk masyarakat dan juga industri, karena fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung tidak stabil dan tidak bisa dipastikan jadi ada ketidakpastian untuk investasi,” ungkapnya.

Harga BBM Nonsubsidi Bakal Turun Januari 2023?

PT Pertamina (Persero) saat ini sedang meninjau penyesuaian harga jenis bahan bakar minyak (BBM) umum atau JBU yang akan dijual pada periode Januari 2023. Bakal naik atau turun harga?

“(Penyesuaian harga) masih kami review,” kata Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, Kamis (29/12/2022).

Indikator yang dipertimbangkan untuk menyesuaikan harga BBM nonsubsidi adalah perkembangan harga minyak, nilai tukar, dan MOPS. MOPS adalah tren harga rata-rata publikasi minyak.

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan harga BBM nonsubsidi semestinya turun jika melihat berbagai indikator, yakni harga minyak dunia dan penguatan rupiah.

“Kalau lihat dari tren harga minyak dunia yang cenderung turun dalam satu bulan terakhir harusnya akan ada penurunan harga BBM nonsubsidi. Ditambah mata uang rupiah mengalami penguatan terhadap dolar,” ujar Mamit kepada IDN Times.

Mamit pun memperkirakan, pada bulan depan, Pertamina akan melakukan penyesuaian BBM nonsubsidi dengan menurunkan harga.

“Demikian juga ICP (harga rata-rata minyak mentah Indonesia) saya perkirakan akan turun jika dibandingkan bulan sebelumnya,” tambahnya.

Pemerintah Bagi Rice Cooker Gratis, Begini Menurut Energy Watch

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan anggaran Rp 340 miliar demi program pembagian rice cooker gratis untuk 680.000 keluarga penerima manfaat (KPM). Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan konsumsi listrik masyarakat sekaligus mengurangi impor LPG nasional.

Direktur eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengungkapkan bahwa pembagian rice cooker gratis ini sebagai upaya pemerintah untuk melakukan modernisasi kepada masyarakat terutama golongan ke bawah terkait peralatan memasak mereka.

Untuk itu, ucapnya, masyarakat juga bisa menjadi lebih mudah dalam memasak nasi tidak lagi menggunakan cara manual. “Saya rasa tidak akan terlalu banyak kenaikan jumlahnya mengingat listrik untuk rice cooker ini konsumsinya tidak terlalu besar,” pungkas Mamit.

Penggunaan listrik rice cooker dengan 460 VA sudah bisa digunakan tanpa perlu adanya penambahan daya. Sementara, terkait akan adanyA peningkatan konsumsi listrik itu juga tidak bisa dipungkiri karena jumlahnya banyak sekali 680 ribu unit.

“Seberapa besar kenaikan konsumsi listriknya, saya kira pemerintah sudah melakukan kajian terlebih dahulu. Tetapi ini semua kan baru wacana masih menunggu anggarannya terlebih dahulu,” tandasnya.

Uji Coba Beli Solar Pakai QR Code Diharapkan Bisa Tepat Sasaran

PT Pertamina Patra Niaga mulai melakukan pembatasan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi untuk jenis biosolar di SPBU dengan menggunakan QR Code.

Uji coba pembatasan ini dilakukan di 11 kabupaten/kota. Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan berharap uji coba tersebut tepat sasaran dan dapat mengurai antrean panjang di SBPU.

“Melalui uji coba ini diharapkan bisa mengurai potensi kendala yang terjadi di lapangan saat pengisian BBM seperti antrean panjang, kesalahan baca QR Code, kesalahan baca data konsumen dan potensi yang lain,” kata Mamit.

Mamit menjelaskan pengendalian BBM perlu dilakukan sehingga bisa memastikan penyaluran tepat sasaran. Kemudian menghindari terjadinya penyelewengan di lapangan.

“Jangan sampai justru dinikmati masyarakat mampu dan kalangan pengusaha serta industri,” jelasnya.

Selain itu, dengan mekanisme QR code ini subsidi sudah mulai diberikan secara tertutup. Di mana akan membatasi pendistribusian hanya kepada yang berhak saja.

Menurutnya jika uji coba ini berhasil akan bisa menjaga kuota solar subsidi sehingga tidak over ke depannya dan membantu beban APBN karena tidak adanya penambahan. Apalagi saat ini disparitas harga antara solar subsidi dan non subsidi begitu besar sehingga rawan penyimpangan di lapangan.

“Kesiapan dari provider penyedia jasa digitalisasi yang bekerja sama dengan Pertamina menjadi keharusan juga. Jangan sampai nanti ada kendala terhadap sinyal dan lain-lain. Program ini tidak hanya dilakukan oleh Pertamina saja, tapi harus didukung semua pihak yang terkait,” pungkasnya.

Soal Indonesia Kalah di Gugatan WTO, Energy Watch: Ini Sumber Daya Kita, Lawan!

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyatakan Indonesia tidak perlu takut meski kalah dalam gugatan larangan ekspor nikel di World Trade Organization atau WTO. Indonesia juga tidak perlu khawatir soal dampak jangka panjang yang mengintai buntut keputusan ini.

“Ini sumber daya alam kita. Mengapa mesti takut dengan mereka? Kita lawan,” ujar Mamit.

Dia juga meminta para investor yang akan masuk ke Indonesia tidak perlu khawatir. Pasalnya, keputusan WTO belum final. Artinya, pemerintah masih memiliki kesempatan untuk melawan dengan mengajukan banding. Karena itu dia mendukung langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk tidak hanya diam dan memintanya segara berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengambil langkah selanjutnya.

Mamit berujar nikel menjadi sumber daya alam kebanggaan Indonesia yang sangat dibutuhkan untuk transisi energi.  “Ini hasil alam kita, masak harus kita tunduk dengan aturan yang merugikan. Jangan karena kita negara berkembang maka kita yang ditekan,” ujar Mamit.

Menurutnya, Uni Eropa mesti berlaku fair. “Kalau mau, mereka berinvestasi di Indonesia,” imbuh Mamit.

Saat ini, Mamit melanjutkan, meski 90 persen tambang nikel dikuasai Cina, multiplier effect untuk Indonesia bisa terlihat. Misalnya dari ekonomi daerah yang bertumbuh. Selain itu, tenaga kerja Indonesia juga terserap dan negara mendapat manfaat dari hilirisasi ini.

Oleh karena itu, Mamit menyarankan agar hilirisasi nikel di Indonesia dilakukan secara end to end. Artinya, tidak hanya barang seperempat jadi dijual ke Cina, lalu masuk kembali ke Indonesia sebagai barang jadi dan Indonesia menjadi konsumen saja. Namun, pengolahan nikel mestinya diolah dari hulu ke hilir dan 100 persen dibuat di Indonesia.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif memang mengatakan pemerintah bakal mengajukan banding karena menilai keputusan panel belum memiliki keputusan tetap. “Masih ada peluang untuk banding dan tidak perlu mengubah peraturan  atau bahkan mencabut kebijakan yang tidak sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi DSB,” ujar Arifin dalam Raker dengan Komisi VII DPR RI, Senin, 21 November 2022.

Adapun peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO, yakni UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019 perubahan kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Selanjutnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Terakhir, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Dalam hasil putusan final tersebut disebutkan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994. Panel juga menolak pembelaan yang diajukan Pemerintah Indonesia terkait keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (aspek lingkungan) sebagai dasar pembelaan.

Putusan final tersebut akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada 30 November 2022. Kemudian akan dimasukkan dalam agenda DSB pada 20 Desember 2022.

Sejumlah Perusahaan Migas Asing Hengkang dari Indonesia

Sejumlah perusahaan minyak dan gas kelas dunia (global company) disebut-sebut sebagai hengkang dari industri hulu migas di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah kondisi lapangan migas di Indonesia sudah cukup tua.

“Sejauh ini, industri migas di Indonesia dikuasai oleh Pertamina. Tetapi, masih cukup banyak perusahaan-perusahaan migas global yang beroperasi di Indonesia,” ujar Pengamat Energi Mamit Setiawan dalam Zona Bisnis BN Channel, Rabu (23/11/2022).

Pengamat Energi Mamit Setiawan mengungkapkan bahwa saat ini global sedang menuju transisi energi. Hal itu membutuhkan investasi yang cukup besar. 

Salah satu kendala yang menyebabkan banyak perusahaan migas hengkang dari Indonesia, yakni revisi UU Migas yang sampai saat ini belum selesai dibahas. Undang-undang tersebut ditargetkan selesai Juli 2023.