Harga Pertamax Naik, Pembatasan BBM Kunci Cegah Migrasi ke Pertalite

Jakarta, energywatch.or.id – Langkah pemerintah yang menerapkan batas maksimum pada harga Pertamax yang per 1 Maret 2023 naik menjadi Rp 13.300 per liter, dinilai tak relevan untuk untuk mencegah migrasi konsumen ke BBM bersubsidi Pertalite.

Ketimbang menetapkan harga batas atas pada penjualan Pertamax, pemerintah diminta untuk segera menyelesaikan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM).

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arrangga, menyampaikan bahwa penetapan harga jual maksimum pada Pertamax bakal menimbulkan biaya kompensasi yang wajib dibayarkan oleh pemerintah apabila harga jual Pertamax SPBU melebih harga batas atas yang ditetapkan.

“Kalau menetapkan batas atas maka artinya akan ada harga yang dikompensasi dengan subsidi. Ini seperti ular makan ekornya, mencegah migrasi tapi kasih harga batas atas,” kata Daymas saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (2/3).

Daymas melanjutkan, harga BBM non subsidi selayaknya dilepas seluruhnya mengikuti harga pasar tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Dia menganggap bahwa cara yang paling efektif untuk mencegah migrasi konsumen Pertamax ke Pertalite yakni dengan mengetatkan calon pembeli BBM bersubsidi

“Kami melihat untuk mencegah migrasi maka selesaikan dulu soal regulasi mengenai siapa yang berhak mendapatkan Pertalite,” ujar Daymas.

Artikel ini telah dipublikasikan oleh katadata

26 Tahun Pertamina Patra Niaga, Semangat Energi Positif bagi Seluruh Negeri

Jakarta, energywatch.or.id – Genap berusia 26 tahun, Pertamina Patra Niaga membawa semangat Energi Positif memastikan seluruh layanan yang diberikan sebagai Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) tidak akan berhenti dan hanya akan menjadi lebih baik di usia barunya. 

“26 tahun ini bukan masa yang sebentar, saat ini Pertamina Patra Niaga dipercaya untuk mengemban amanah yang lebih besar lagi dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi masyarakat. Di tahun lalu kami berhasil menjalankan berbagai tugas yang diberikan, dengan semangat Energi Positif pada usia 26 tahun ini, saya yakin Pertamina Patra Niaga akan memberikan layanan dengan lebih baik lagi,” jelas Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution.

Di tahun 2022, berbagai capaian positif berhasil dituntaskan. Mulai dari penyediaan layanan BBM, seperti tuntasnya 92 titik penugasan BBM Satu Harga sehingga total 413 lembaga penyalur sudah beroperasi di 125 kabupaten, dimana 54 kabupaten diantaranya berada di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). 

Tidak berhenti di BBM, lewat One Village One Outlet (OVOO) LPG, 98% kelurahan di seluruh Indonesia sudah dilayani setidaknya satu pangkalan sehingga mudah mendapatkan akses untuk membeli LPG. Bagi nelayan dan petani, penugasan konversi LPG bagi mereka juga menjadi salah satu dukungan Pertamina Patra Niaga menyediakan energi untuk kebutuhan melaut dan bertani agar lebih efisien. 85 ribu nelayan dan 14 ribu petani sudah menjadi penerima paket konversi LPG untuk mendukung pekerjaan mereka. 

Dalam mendukung kebutuhan LPG tersebut, Pertamina Patra Niaga juga berhasil menyelesaikan 3 storage LPG sebagai titik suplai baru, antara lain di Dumai, Jayapura, dan Wayame yang termasuk dalam Program Strategis Nasional. 

“Capaian ini tidak hanya sekedar untuk menjalankan penugasan, namun bagaimana Pertamina Patra Niaga bisa hadir dan turut mendukung bergeraknya roda perekonomian masyarakat Indonesia tidak hanya di kota, namun juga mementingkan aspek availibility, accessability, affordability, acceptability, dan sustainability di seluruh wilayah Indonesia. Ini adalah bentuk energi berkeadilan bagi masyarakat,” lanjut Alfian.

Inovasi juga menjadi salah satu prioritas Pertamina Patra Niaga, yang utama adalah lini digitalisasi untuk meningkatkan kualitas layanan. Total saat ini ada 10 Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) yang menerapkan sistem digitalisasi dalam proses pengisian Avtur. Lalu ada pengembangan MyPertamina sebagai ekosistem digital, tidak hanya untuk loyalty program namun dikembangkan sebagai platform penyaluran BBM bersubsidi. 

Disisi energi yang lebih baik, ada lebih dari 300 Green Energy Station sudah dioperasikan Pertamina Patra Niaga. Dari total tersebut, terdapat juga 6 Charging Station untuk mobil listrik dan pilot project 21 Battery Swapping Station untuk motor listrik yang sudah diopersaikan di SPBU GES. 

“Komitmen kami adalah berinovasi. Bagaimana layanan bisa makin lebih baik, ada layanan baru sesuai dengan tren masyarakat, disinilah peran digital menjadi kuncinya. Transisi menuju energi yang lebih ramah juga kami siapkan dalam bentuk ekosistem hilir bagi kendaraan listrik yang terintegrasi dalam Green Energy Station,” ulasnya. 

Kualitas layanan dan peran Pertamina Patra Niaga tidak hanya dalam bentuk infrastruktur pendukung layanan, namuin juga dari sisi kualitas layanan pelanggan dan peran tanggung jawab sosialnya. Dari sisi layanan pelanggan, Pertamina Call Center 135 didapuk Certified World Class Contact Center  dan menerima 6 penghargaan Gold dan 4 Silver dalam ajang Contact Center Global Awards 2022. 

Begitu pula untuk tanggung jawab sosial, Pertamina Patra Niaga sangat berkomitmen terhadap peran tersebut. Hal ini dibuktikan dengan diraihnya 6 penghargaan PROPER Emas dan 50 PROPER Hijau untuk berbagai program CSR & SMEPP di tahun 2022. 

“Contact Center sudah menjadi tulang punggung bagi kelancaran layanan dan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Sedangkan peran tanggung jawab sosial ini juga menjadi tulang punggung bagi kemajuan perusahaan bersama-sama dengan masyarakat disekitar yang menjadi bagian dari Pertamina Patra Niaga. Ini sudah menjadi komitmen dan akan terus kami lanjutkan dengan semangat Energi Positif di 26 tahun ini,” jelas Alfian. 
Berbagai capaian ini menurut Alfian adalah pendorong bagi seluruh perwira Pertamina Patra Niaga dalam membawa semangat Energi Positif menjalankan tugasnya. “Arti angka 26 ini adalah togetherness, unity, dan collaboration. Kedepan, bersama-sama, bahu membahu seluruh fungsi, Pertamina Patra Niaga berkomitmen akan memberikan layanan yang lebih baik lagi, bagaimana Energi Positif akan hadir diseluruh negeri,” tukas Alfian

Data Penyaluran Subsidi Menggunakan KTP, Energy Watch: Perlu Diperjelas

Pemerintah membuka opsi untuk memadukan data warga miskin sebagai penerima subsidi listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sekaligus sebagai penerima subsidi elpiji 3 kilogram. Dengan begitu, penyaluran elpiji bersubsidi tersebut diharapkan lebih tepat sasaran.

Hal itu terungkap dalam rapat kerja Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/2/2023). Turut hadir dalam rapat tersebut adalah Menteri BUMN Erick Thohir dan Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury.

”Uji coba penyaluran elpiji bersubsidi dengan memperlihatkan KTP masih berlaku di lima wilayah. Namun, dari ketepatan data yang ada, masih perlu untuk dilakukan pemadanan. Dari beberapa kajian opsi yang ada, selain DTKS (data terpadu kesejahteraan sosial), mungkin bisa juga melihat data (penerima) subsidi listrik yang selama ini digunakan PLN,” kata Pahala.

Pahala menambahkan, kendati uji coba di lima wilayah (Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Batam, Semarang, dan Mataram) berjalan baik, perlu ada pembicaraan lebih lanjut dengan sejumlah pemangku kepentingan. Itu, antara lain, dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Keuangan, dan PT Pertamina (Persero).

Sementara itu, menurut Erick, pihaknya ingin memastikan bahwa subsidi pada barang harus tepat sasaran. ”Ini sebenarnya tak hanya pada elpiji, tetapi BBM (bahan bakar minyak) juga seperti itu. Perbaikan-perbaikan ini sudah seyogianya kita dorong agar jangan sampai yang (kategori) mampu yang mendapatkan subsidi,” ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengemukakan, penataan subsidi elpiji 3 kilogram memang dimulai dengan pendataan. Apabila kriteria penerima subsidi sudah sesuai, baru akan dilakukan pembatasan penjualan. Dengan demikian, hingga saat ini belum ada pembatasan penjualan elpiji bersubsidi tersebut, tetapi baru sebatas pendataan.

Perlu diperjelas

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga berpendapat, subsidi energi sebaiknya diberikan kepada masyarakat yang berhak menerima, bukan subsidi pada harga. Selain itu, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Elpiji Tabung 3 Kilogram disebutkan bahwa penyediaan elpiji 3 kilogram yang disubsidi hanya untuk kelompok rumah tangga dan usaha mikro.

”Apabila saat ini diterapkan kebijakan pembelian menggunakan KTP, itu bagi golongan rumah tangga yang mana? Karena, dalam perpres hanya disebut rumah tangga, artinya semua rumah tangga bisa mendapatkan. Ini yang perlu diperjelas karena sebenarnya (subsidi elpiji) untuk golongan masyarakat menengah ke bawah,” katanya.

Menurut Daymas, apabila pendistribusian elpiji bersubsidi dipertegas lewat aturan yang jelas dan pengawasan yang ketat, penyelewengan elpiji bersubsidi di lapangan bisa diminimalisasi atau dicegah.

Pakar: Hilirisasi Mineral Kunci Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik

Kebijakan larangan ekspor tembaga yang bakal aktif pada pertengahan tahun ini dinilai bisa mengikuti klaim keberhasilan pemerintah dalam proyek hilirisasi bijih nikel. Perluasan larangan ekspor mineral mentah itu disebut dapat mempercepat program hilirisasi nikel yang berbasis pada pengembangan baterai kendaraan listrik.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arrangga, beranggapan bahwa penciptaan ekosistem baterai maupun kendaraan listrik di Indonesia juga perlu didukung oleh penyediaan bahan baku komponen penunjang seperti kabel dan transmisi listrik yang umunya diproduksi dari mineral bauksit dan tembaga.

“Sulit melihat bahwa satu industri akan maju sendirian. Ekosistem baterai gak mungkin bertahan sendiri, pasti butuh penunjang seperti transmisi dan perkabelan. Bahan baku untuk produksi barang penunjang itu juga harus ada,” kata Daymas kepada Katadata.co.id, Rabu (25/1).

Perluasan proyek hilirisasi juga dilihat sebagai peluang Indonesia untuk mengeruk keuntungan di tengah tren transisi energi. Khususnya pada komoditas mineral tembaga yang kerap diolah menjadi produk lanjutan berupa fasilitas jaringan distribusi listrik.

Kementerian ESDM mencatat, saat masih menjadi bijih, tembaga cuma berada di harga US$ 4,36 per ton. Harga jualnya akan naik menjadi US$ 1.365 per ton jika diolah menjadi konsentrat tembaga.

Lebih dari itu, harga komoditas tembaga bakal bernilai lebih tinggi jika telah melewati fase pemurnian menjadi katoda tembaga dengan harga US$ 6.049 per ton. Produk paling ujung adalah kabel tembaga dengan harga jual mencapai US$ 13.000 per ton.

Hal serupa juga terjadi pada sektor tambang bauksit. Saat masih dalam bentuk bijih, harga jual di pasaran hanya berada di US$ 18 per ton. Harga jual akan meningkat usai bauksit dimurnikan menjadi alumina dengan harga jual US$ 350 per ton dan kembali meningkat jika diolah menjadi produk aluminum US$ 1.762 per ton.

“Logika sederhana, jualan barang setengah jadi atau barang jadi akan jauh lebih mahal dari jualan barang mentah. Ini momentum untuk dapat nilai tambah dari ekstraksi komoditi pertambangan,” ujar Daymas.

PLN Berhasil Kurangi Beban Kelebihan Listrik Lebih dari Rp. 40 Triliun

Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo mengungkapkan pihaknya telah berhasil mengurangi biaya yang harus dibayar atas kelebihan listrik sebagai biaya Take or Pay hingga lebih dari Rp. 40 triliun.

Diketahui, akibat adanya kelebihan listrik PLN harus menanggung beban listrik yang tidak terpakai, karena pada saat ini skema pembelian listrik dilakukan menggunakan Take or Pay (ToP). Sehingga PLN melakukan pengurangan kontrak proyek listrik untuk mengurangi beban ToP. Selain itu, pihaknya juga telah berhasil mengundur kontrak dalam upaya renegosiasi.

“Sebagian bisa kita batalkan, kita kurangi, kemudian kita undur, kontraknya kita kurangi, yang kita sebut sebagai renegosiasi. Dimana, kami berhasil mengurangi beban Take or Pay Rp. 40 sekian triliun,” ungkap Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (8/2/2023).

Darmawan juga menyatakan kelebihan pasokan listrik ini tentunya disebabkan oleh beberapa factor, salah satunya karena asumsi pertumbuhan ekonomi yang dijadikan acuan ternyata tidak sesuai prediksi awal.

Menurutnya, pertumbuhan listrik di Jawa pada tahun 2014-2015 diperkirakan tumbuh sekitar 7-8%. Angka tersebut berbasis pada asumsi pertumbuhan ekonomi pada saat itu yang diperkirakan dapat mencapai kurang lebih 6,1%.

Selain itu, terdapat kolerasi antara pertumbuhan ekonomi dan permintaan listrik waktu itu. Dimana pada saat ada pertumbuhan ekonomi 1% maka pertumbuhan permintaan listrik diproyeksi mencapai 1,3%. “Jadi pada saat pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi dan pariwisata, ternyata kolerasinya bergeser bukan 1,3% namun turun menjadi 0,8% atau 0,9%. Itu artinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi pertumbuhan demand listrik yang tinggi.” Ujar Darmawan.

Bakal Disetop, Ekspor Tembaga Capai Rekor Tertinggi Rp 138 T pada 2022

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor bijih tembaga sepanjang 2022 mencapai 3,13 juta ton atau naik hingga 40,35% dari tahun sebelumnya dengan total 2,23 juta ton.

Sementara nilai ekspor tembaga sepanjang 2022 menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia, yakni mencapai US$ 9,24 miliar atau setara Rp 138,43 triliun dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 14.976 per dolar AS.

Meroketnya capaian ekspor bijih tembaga disinyalir akibat melonjaknya permintaan bahan baku produk olahan industri global. Khususnya pada kebutuhan infrastruktur kelistrikan dan pengembangan baterai hingga produksi kendaraaan listrik.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga, menyampaikan bahwa pengembangan ekosistem baterai dan kendaraan listrik secara paralel akan menambah permintaan pasokan transmisi listrik.

Kondisi itu secara otomatis berdampak pada menguatnya permintaan bahan baku komponen penunjang seperti kabel dan transmisi listrik secara signifikan, yang umumnya diproduksi dari mineral tembaga.

“Ekosistem baterai gak mungkin berjalan sendiri, pasti butuh penunjang seperti transmisi dan perkabelan. Bahan baku untuk produksi barang penunjang itu juga harus ada,” kata Daymas saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Rabu (25/1).

PLN Manfaatkan Biomassa Pengganti Batu Bara, Energy Watch: Indonesia Berkahnya Biomassa

PT PLN (Persero) terus mengembangkan pemanfaatan berbagai bahan alami yang didapatkan dari potensi lokal daerah untuk dijadikan Biomassa pengganti batu bara.

Upaya tersebut menjadi salah satu inisiatif BUMN setrum negara dalam mencapai target net zero emission (NZE) di 2060 dengan mengganti bahan bakar batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Keseriusan tersebut tercermin melalui 2 (dua) Subholdingnya, yakni PT PLN Indonesia Power (IP) dan PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI) dalam agenda Indonesia National Electricity Day 2022 yang digelar di Jakarta belum lama ini.

Direktur Utama PLN Indonesia Power Edwin Nugraha Putra mengungkapkan pihaknya terus mengakselerasi pembangunan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).

Dia menambahkan, pasalnya, PLN IP telah mengelola 1,5 Giga Watt (GW) pembangkit berbasis EBT yang bertumpu pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).

Kapasitas EBT dari PLN IP tersebut akan meningkat menjadi 8,1 GW di tahun 2030 seiring pembangunan pembangkit EBT dari sumber daya lain seperti tenaga surya, angin, hingga gelombang laut.

“Sampai tahun 2030, pembangunan pembangkit EBT akan terus kami tingkatkan. Jika di tahun 2024 persentasenya baru 11 persen, di tahun 2030 akan melonjak jadi 30 persen dari keseluruhan pembangkit yang kami kelola,” ungkap Edwin dalam keterangan, Minggu, (4/12/2022).

Dia menuturkan, untuk jangka pendek PLN Group akan memaksimalkan pemanfaatan co-firing biomassa demi mencapai target NZE pada 2060.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga mangatakan, Indonesia sebagai area katulistiwa memiliki banyak pasokan energi biomassa.

“Pasokan energi saat ini masih didominasi oleh batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap, maka komitmen untuk mengurangi emisi yang awalnya menggunakan energi fosil (batu bara) secara perlahan bertransisi menggunakan sumber energi yang berkelanjutan”, tuturnya.

Kondisi Hulu Migas di RI Disebut Cukup Berat, Kenapa?

Kondisi industri hulu migas saat ini disebut tengah mengalami permasalahan yang cukup berat.

Hal itu dikatakan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan yang mengungkapkan soal kondisi migas saat ini.

“Berdasarkan perkembangan satu tahun terakhir dan juga tahun-tahun belakangan, industri hulu migas ini sedang mengalami permasalahan yang cukup berat apalagi kita sudah mengalami tiga tahun dilanda pandemi di mana harga minyak sempat drop dan sekarang sudah mulai naik lagi jadi fluktuasinya ini sangat luar biasa sekali,” ujar Mamit saat berdialog di IDX Channel, Jumat (25/11/2022).

Dia mengatakan, kondisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan hulu migas secara global maupun Indonesia. Sebab, bagaimanapun saat ini migas masih menjadi salah satu indikator dalam perekonomian secara global di mana ekonomi

global sangat dipengaruhi oleh kenaikan harga maupun penurunan harga minyak dunia.

“Ini bisa kita lihat bagaimana dampak dari konflik Rusia dan Ukraina yang tiba-tiba langsung menaikkan harga minyak yang sangat luar biasa dan sangat tinggi sehingga banyak sekali negara negara di Eropa dan juga Amerika Serikat yang mengalami resesi dalam waktu di tahun 2022 ini,” papar Mamit.

Oleh karena itu, dia menilai industri hulu migas ini masih belum tergantikan meskipun saat ini seluruh dunia sudah berbicara mengenai energi terbarukan.

Bahkan global pun sudah menyarankan untuk mengurangi energi fosil dan sudah sama-sama berkomitmen untuk net zero emission baik itu pada 2050 maupun 2060 tergantung dari masing masing negara.

“Tetapi transisi energi ini sepertinya sudah mulai berjalan dan ini menjadi salah satu tantangan bagi industri hulu migas dalam rangka menyesuaikan terhadap permintaan global di mana untuk mengurangi emisi gas rumah kaca,” terang Mamit.

Sebagaimana diketahui bahwa produk-produk yang dihasilkan migas adalah salah satu produk yang memberikan kontribusi yang sangat besar dalam emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Oleh karena itu, menurut Mamit, ke depan industri hulu migas harus benar-benar bisa melakukan transformasi ataupun bisa melakukan perubahan-perubahan untuk mengikuti perkembangan ataupun tuntutan dari permintaan global dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Jadi saya kira untuk hulu migas terutama hulu migas global ini sangat luar biasa sekali. Untuk di sektor nasional sendiri hulu migas sampai sejauh ini masih menjadi salah satu poin utama dalam penerimaan negara meskipun kita lihat bahwa investasi terus tidak tercapai dan listing migas juga tidak pernah tercapai dan juga belum ada penemuan cadangan yang luar biasa,” tutur Mamit

Lanjutnya, hal itulah yang menjadi tantangan tersendiri bagi industri hulu migas terutama pihak SKK Migas dan kementerian ESDM bagaimana ke depan industri hulu migas ini menjadi lebih menarik dan berkembang.

Nasib Nikel RI di Tengah Putusan WTO dan Genggaman Investor China

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah berupaya menyetop ekspor bahan mentah, salah satunya bijih nikel. Ia berulang kali menyampaikan bahwa dengan hilirisasi, Indonesia akan menjadi negara maju.
Ia memprediksi Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh pada 2030 jika kebijakan berhenti mengekspor bahan baku mentah berlanjut.

Orang nomor satu RI itu juga menyebut jika kebijakan ini diteruskan, Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat pada 2045.

Namun, langkah Indonesia menyetop ekspor nikel harus terhalang oleh keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut WTO mengalahkan Indonesia dalam sengketa gugatan larangan ekspor nikel yang diajukan oleh Uni Eropa.

Arifin mengungkapkan bahwa alasan Indonesia kalah dari Uni Eropa dalam gugatan itu yaitu Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.

“Memutuskan bahwa kebijakan larangan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral (nikel) dalam negeri terbukti melanggar ketentuan WTO,” katanya dalam rapat kerja Komisi VII DPR, Senin (21/11).

Beberapa regulasi atau peraturan perundang-undangan Indonesia yang dinilai melanggar ketentuan WTO, antara lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Lalu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Nantinya, laporan akhir akan didistribusikan kepada anggota WTO lain pada 30 November 2022 dan akan dimasukkan ke dalam agenda Dispute Settlement Body (DSB) pada 20 Desember 2022.

Meski kalah, Arifin mengatakan pemerintah tak akan menyerah. Ia menegaskan Indonesia siap mengajukan banding atas putusan itu.

“Pemerintah berpandangan keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga masih terdapat peluang untuk appeal atau banding. Pemerintah juga tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang tidak sesuai sebelum keputusan diadopsi oleh Dispute Settlement Body,” jelasnya.

Tak hanya soal kalah gugatan, nikel Indonesia juga dibayangi kuasa investor China yang disebut mencapai 90 persen. Setidaknya hal itulah yang disampaikan anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Demokrat Zulfikar Hamonangan.

Ia menegaskan meski ada larangan ekspor bahan mentah, faktanya jika dicek di lapangan ada proses ekspor nikel besar-besaran. Zulfikar pun menyinggung China mengantongi pendapatan Rp450 triliun per tahun hasil dari nikel di Indonesia.

“90 persen tambang nikel yang ada di Indonesia itu dikuasai China, Pak Menteri. Bahkan, benar atau tidaknya, pajaknya pun dibebaskan 30 persen. Ini kebijakan-kebijakan yang aneh. Sementara, perusahaan-perusahaan pribumi banyak tersingkirkan, izin-izin mereka dicabut,” katanya kepada Arifin.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan pemerintah masih bisa memperjuangkan nikel Indonesia dengan melakukan banding atas putusan WTO karena belum masuk tahap final.

Ia pun mendukung Kementerian ESDM untuk tidak diam saja dan segera berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam mengambil langkah selanjutnya.

Terlebih, nikel merupakan sumber daya alam yang dibanggakan Indonesia dan saat ini sangat dibutuhkan dalam transisi energi.

“Kita tidak boleh kalah dengan mereka. Ini hasil alam kita, masa kita harus tunduk dengan aturan yang merugikan. Jangan karena kita negara berkembang maka kita yang ditekan. Harus fair Uni Eropa,” ujar Mamit kepada CNNIndonesia.com, Selasa (22/11).

Ia menyarankan agar hilirisasi nikel mencapai tahap end to end sehingga Indonesia tidak hanya mengekspor barang mentah kemudian masuk lagi ke dalam negeri sebagai barang jadi.
“Jadi dari hulu sampai hilir sudah jadi 100 persen dibuat di Indonesia. Dengan demikian multiplier effect-nya terlihat jelas,” ujarnya.

Adaro Garap Proyek EBT, Pengamat: Harus Ditiru Perusahaan Tambang Batu Bara

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengapresiasi langkah PT Adaro Energy Indonesia Tbk (Adaro) yang telah melakukan diversifikasi bisnis melalui pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).

Hal ini ditandai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tanah Laut, Kalimantan Selatan, berkapasitas 70 MW. Dalam proyek tersebut Adaro melalui anak usahanya PT Adaro Power menggandeng Total Eren.

Keduanya memenangkan tender setelah memberikan penawaran harga listrik per kWh terendah kepada PT PLN (Persero). Penawaran tersebut merupakan yang terendah dalam sejarah pembangunan PLTB di Indonesia.

“Saya kira ini merupakan salah satu langkah bagus di mana perusahan batu bara seperti Adaro sudah melakukan diversifikasi bisnis. Mereka sudah mengarah ke green energy dengan PLTB ini. Apalagi dengan harga yang termurah sepanjang sejarah,” ungkap Mamit.

Menurut Mamit, proyek ini menjadi tanda bisnis Adaro sudah mengarah ke EBT, tidak hanya batu bara. Langkah ini juga bukti nyata dukungan Adaro dalam mempercepat transisi energi guna mencapai target net zero emission pada 2060

“Jadi untuk mendukung transisi energi justru tidak lagi berbicara akuisisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang eksisting dengan alasan untuk early retirement. ,” tuturnya.

Mamit menilai transformasi bisnis dari energi fosil menuju ke EBT harusnya dimulai oleh BUMN tambang batu bara agar menjadi contoh bagi perusahaan-perusahaan swasta.

“PTBA harusnya menjadi pioneer transformasi bisnis tambang batu bara menuju green energy untuk mendukung net zero emission , bukan terbalik, sekarang malah didahului oleh perusahaan swasta,” lanjut Mamit.

Ia menegaskan, langkah PTBA mengakuisisi PLTU Pelabuhan Ratu bukanlah langkah yang tepat dalam mendukung pengembangan EBT di Indonesia. “Ditambah kebutuhan akan batu bara akan semakin berkurang dan semua sudah mengarah ke energi bersih,” pungkas Mamit.