Pertamax Green 95 Resmi Diluncurkan, Energy Watch: Perlu Secara Bertahap Dikaji dan Diuji

Jakarta, energywatch.or.id – Pada 24 Juli 2023 Pertamina (Persero) telah resmi merilis bahan bakar baru. Melalui Subholding Commercial & Trading yaitu PT Pertamina Patra Niaga, Pertamax Green 95 akhirnya resmi dijual. Produk Pertamina ini memiliki harga dikisaran Rp13.500 per liter dan selama 12 bulan diedarkan terbatas di Jakarta (5 SPBU) serta Surabaya (10 SPBU).

Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga menilai, peluncuran produk Pertamax Green 95 sebagai salah satu langkah Pertamina dalam mengurangi bahan bakar impor.

“Peluncuran Pertamax Green ini sebagai salah satu langkah Pertamina untuk mengurangi volume bahan bakar impor dan mendukung komitmen pengurangan emisi sesuai dengan peta jalan yang telah disusun. Seperti saat implementasi Biodiesel B5 pada tahun 2006 dulu.” ujar Daymas saat dihubungi RuangEnergi.com pada Selasa (25/07/2023).

Namun, dalam penggunaan Pertamax Green 95 yang berbahan Bioetanol menurut Daymas perlu dikaji dan diuji secara bertahap.

“Penggunaan bioetanol ini perlu secara bertahap dikaji dan diuji bagaimana dampaknya terhadap ekonomi, lingkungan dan juga pengguna secara langsung.” kata Daymas.

Dalam hal ini Energy Watch mendukung upaya pemerintah dalam upaya dari pengembangan biofuel memiliki tujuan jangka panjang.

“Secara prinsip, kami di Energy Watch mendukung upaya pemerintah dalam mengupayakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, namun kajian teknis maupun non-teknis juga tetap harus terus dilakukan agar tujuan baik dari biofuel ini dapat tercapai secara jangka panjang.” tutup Daymas.

Diketahui, Pertamax Green 95 diklaim sebagai bahan bakar kendaraan yang ramah lingkungan. Sebab menggunakan bahan baku terbarukan yakni bioetanol dari molase tebu sebanyak 5%. Untuk menghasilkan bensin campuran ini, Pertamina melalui sinergi BUMN bekerja sama dengan PT Energi Agro Nusantara yang merupakan anak usaha PT Perkebunan Nusantara X (Persero). Perusahaan pelat merah ini bertugas menyediakan bahan baku bioetanol dari bioetanol molases tebu yang diproses menjadi etanol fuel grade.

Hilirisasi Kendaraan Listrik RI Kini Diuji, Energy Watch: Negara Perlu Konsisten

Jakarta, energywatch.or.id – Indonesia masih belum mampu menguasai hulu hingga hilir ekosistem kendaraan listrik. Keterbatasan persediaan mineral seperti grafit dan litium memaksa Indonesia mesti mendatangkannya dari luar negeri. Konsistensi Indonesia dalam hilirisasi kini diuji apabila ingin menguasai pangsa pasar kendaraan listrik dunia.

Menurut Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA), kebutuhan rerata material mineral untuk membuat satu mobil listrik antara lain mencakup 66,3 kilogram grafit, tembaga (53,2 kg), nikel (33,9 kg), mangan (24,5 kg), dan kobalt (13,3 kg). Selain itu, litium (8,9 kg), LTJ (0,5 kg), dan logam lainnya (0,5 kg, termasuk titanium). Kebutuhan bahan baku lainnya adalah aluminium sejumlah 29-250 kg dan baja 40-100 kg per unit mobil listrik.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, untuk mencapai target sebagai pusat baterai dunia, Indonesia tidak bisa sendiri karena masih butuh bantuan dari negara lain. Sejumlah mineral, seperti grafit dan litium yang jumlahnya sedikit dan bahkan tidak ada di Indonesia, akan didatangkan dari negara lain.

”Saat kunjungan ke Australia, sudah dibicarakan bahwa Indonesia punya nikel, mereka punya litium. Hal itu nanti bisa kerja sama. Indonesia akan menjadi pusat (pengolahan), bahan bakunya dari Australia,” ujarnya saat kunjungan ke pabrik PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (11/7/2023).

Dalam kunjungan itu, Zulkifli ditemani Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Lee Sang-deok, Presiden Hyundai Motor ASEAN Headquarters Young Tack-lee, dan Advisor Hyundai Motor ASEAN Headquarters Lee Kang-hyun. Kesempatan itu juga dimanfaatkannya untuk berkeliling dan melihat proses pembuatan mobil listrik pabrikan Hyundai.

Indonesia, kata Zulkifli, memiliki sumber daya bahan baku mobil dan baterai listrik yang melimpah. Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2021, Indonesia memiliki deposit bijih bauksit 2,4 miliar ton, tembaga 12,5 miliar ton, dan kobalt 682 miliar ton basah.

Selain itu, cadangan bijih nikel kadar tinggi 930 juta ton dan kadar rendah 3,6 miliar ton. Ketersediaan material mineral lainnya relatif terbatas, yakni deposit mangan 4,9 juta ton dan titanium–menurut penelitian terbaru ilmenit–potensinya sebesar 761 ton di Pulau Bangka, belum termasuk daerah lainnya seperti Pulau Papua dan Kalimantan.

Meskipun begitu, Zulkifli tidak menampik bahwa tidak semua bahan baku mobil dan baterai listrik tersedia di Indonesia. Karena itu, kerja sama perdagangan antarnegara dibutuhkan untuk menutupi kekurangan tersebut.

Bahan baku yang tak tersedia, misalnya, grafit digunakan sebagai material anoda baterai kendaraan listrik. Kebanyakan baterai litium ion komersial menggunakan grafit karena stabilitas siklus dan densitas energi yang baik.

Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga, apabila Indonesia bercita-cita menjadi pusat kendaraan listrik dunia, ekosistemnya perlu dibangun secara matang. Hal ini mengingat Indonesia baru saja memulai upaya hilirisasi mineral.

”Prosesnya masih panjang dalam mengubah bijih nikel hingga menjadi baterai litium ion, Indonesia belum mampu sampai ke sana. Jadi, secara paralel negara perlu konsisten mendorong hilirisasi dengan membangun fasilitas pengolahan dan penunjangnya,” jelasnya.

Izin Ekspor Konsentrat Tembaga Tak Kunjung Terbit, Energy Watch: Masalah Koordinasi Karut Marut

Jakarta, energywatch.or.idDirektur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga Radiandra menilai terkait tersendatnya izin ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan cerminan permasalahan karut marut koordinasi antar kementerian dalam hal sinkronisasi kebijakan.

Hal tersebut menurut Daymas, tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), namun juga Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.

“Memang ada beberapa urusan administrasi yang perlu dilakukan tiga kementerian tersebut supaya PTFI dan Amman Mineral bisa melanjutkan kegiatan ekspor konsentrat tembaganya,” ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip pada Selasa (11/07/2023).

Dia pun membenarkan bahwa izin ekspor yang tersendat sudah pasti akan mengganggu operasional Freeport maupun Amman. Alasannya, konsentrat yang terserap pasar ekspor akan mengakibatkan penumpukan stok di tengah masih terbatasnya kapasitas smelter tembaga dalam negeri saat ini.

“Akhirnya berdampak pada operasi yang harus disetop supaya hasil produksinya dapat tertampung,” jelasnya.

Daymas menilai izin ekspor konsentrat tembaga semestinya sudah dapat diterbitkan dalam waktu dekat. Dia meyakini pemerintah sudah mempertimbangkan masak-masak mengenai konsekuensi pemberian kelonggaran ekspor konsentrat bagi Freeport dan Amman, dari tenggat Juni 2023 menjadi Mei 2024.

“Relaksasi larangan ekspor ini sudah dikaji oleh pemerintah dan juga merupakan hasil kajian dari progres pembangunan smelter yang targetnya pada Mei 2024. Itu sudah mulai aktif dan mulai full [beroperasi penuh] pada Desember 2024. Tentunya kalau [ekspor konsentrat tembaga] dilarang penuh, akan berdampak juga ke penerimaan negara bukan pajak.” kata Daymas.

Sekadar catatan, Freeport menargetkan produksi konsentrat tembaga pada 2023 mencapai 1.603 miliar pound, emas 1.809 juta ons, sedangkan perak sebesar 6.579 juta ons. Untuk tahun ini, perusahaan mengantongi kuota ekspor konsentrat tembaga sebanyak 2,3 juta ton atau naik dari tahun lalu sejumlah 2 juta ton.

Plt. Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Muhammad Wafid meminta PTFI untuk bersabar menunggu izin ekspor yang masih diproses oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). Menurutnya, sampai dengan saat ini belum ada regulasi yang dapat dijadikan acuan penerbitan izin tersebut.

“Ya bagaimana lagi? Ya itu tadi kalau gudang sudah penuh dan ingin ekspor, tetapi belum ada regulasi yang pas untuk mengatur atau jadi referensi. Semuanya salah nanti. Sabar sedikit lah,” katanya dalam keterangan tertulis dikutip pada Selasa (11/07/2023).

Menurut Wafid, selama belum ada sinkronisasi regulasi terkait, PTFI belum bisa melakukan ekspor konsentrat tembaga. Dia menegaskan itu sudah menjadi peraturan yang tidak bisa ditawar-tawar walaupun relaksasi sudah diberikan sebelumnya.

PTFI mendapatkan pengecualian larangan ekspor mineral mentah, termasuk konsentrat tembaga yang diberlakukan pemerintah mulai 10 Juni 2023. Pengecualian hanya diberikan kepada perusahaan yang sudah menyelesaikan pembangunan smelter dengan kemajuan lebih dari 50% dengan sejumlah syarat dan ketentuan.

Syarat dan ketentuan tersebut meliputi sanksi denda administratif yang diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 89/2023 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif Keterlambatan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri.

Pengenaan denda yang diberikan tersebut berupa penempatan Jaminan Kesungguhan 5% dari total penjualan periode 16 Oktober 2019—11 Januari 2022 dalam rekening bersama (escrow account).

Apabila pada 10 Juni 2024 tidak mencapai 90% dari target, jaminan kesungguhan disetorkan kepada kas negara, pengenaan denda administratif atas keterlambatan pembangunan sebesar 20% dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri untuk setiap periode keterlambatan dengan mempertimbangkan dampak pandemi Covid-19 berdasarkan laporan Verifikator Independen.

Global Energy Independence Day, Energy Watch: Mari Manfaatkan Energi Secara Optimal

Jakarta, energywatch.or.id – Energi merupakan hal mendasar bagi hampir setiap peluang dan tantangan. Energi sangat penting untuk setiap aspek kehidupan kita, baik itu ekonomi, iklim, atau produksi pangan. Energi berkelanjutan semakin terbukti karena bahan bakar fosil menjadi kurang layak untuk pembangkit energi.

Menurut proyeksi PBB, ada sekitar 9,5 miliar orang diperkirakan akan hidup di dunia pada tahun 2050. Meningkatnya populasi dan masalah lingkungan membebani sumber daya energi yang sudah berada di bawah tekanan. Seiring dengan semakin bergantungnya teknologi pada dunia, kebutuhan akan energi juga semakin meningkat.

Direktur eksekutif Energy Watch Daymas Arangga mencatat bahwa, saat ini masih diperlukan energi bersih imbas dari peningkatan polulasi dan masalah lingkungan.

“Proses transisi energi saat ini masih diperlukan energi yang lebih bersih sebelum akhirnya benar-benar menjadi energi yang bebas emisi karbon.” Kata Daymas dalam wawancara ruangenergi.com pada Senin, (10/07/2023).

Selain itu, Daymas juga mengajak masyarakat untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi secara bijak agar dalam masa transisi energi ini benar-benar optimal dan tidak terbuang.

“Dalam masa transisi energi ini kita juga perlu bisa mengukur dan mengkonservasi energi bagaimana kita benar-benar secara optimal memanfaatkan energi secara optimal dan tidak ada energi yang terbuang.” Ujar Daymas.

Pada tanggal 10 Juli, diperingati sebagai Hari Bebas Energi Global mempromosikan kesadaran akan sumber energi alternatif. Selain belajar tentang bentuk energi terbarukan, seperti matahari, angin, dan panas bumi, hari ini menawarkan kesempatan untuk menjelajahi sumber-sumber ini.

Menariknya hari ini juga bertepatan dengan ulang tahun kelahiran penemu Amerika Serbia Nikola Tesla. Masyarakat umumnya menggunakan minyak, batu bara, dan gas sebagai sumber energi.

Krisis Energi Menjadi Ancaman Bagi Indonesia, Energy Watch: Perlu Upaya Konkret

Jakarta, energywatch.or.idMenteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa Indonesia sedang dalam rawan terancam krisis energi. Penyebabnya adalah ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil saat ini yang cukup besar.

Menurutnya, saat ini 42,4% energi tanah air dipasok oleh batu bara dan 31,4% dari minyak bumi. Tapi, di tengah tingginya porsi itu, produksi minyak justru berkurang.

“Produksi minyak bumi nasional tidak akan mencukupi kebutuhan nasional. Padahal, konsumsi energi terus meningkat sehingga ketahanan energi akan semakin kritis,” ungkap Arifin dalam Green Economy Forum 2023 pada Selasa (06/06/2023).

Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga mengatakan, ancaman krisis energi memang rawan mengintai Indonesia. Potensi ancaman ini berasal dari produksi minyak di dalam negeri yang belakangan ini turun dan sulit mencapai 600 ribu barel per hari.

Celakanya kata Daymas, di tengah penurunan produksi itu, Indonesia belum menemukan cadangan minyak baru yang potensinya besar.

“Kenapa tidak ada penemuan minyak yang signifikan, karena kegiatan ekplorasi tak maksimal,” katanya dalam keterangan tertulis pada Rabu (07/06/2023).

Atas dasar itulah, ia meminta pemerintah dalam hal ini SKK Migas untuk bergerak cepat dan mengambil langkah serius untuk menggeber kegiatan explorasi dan pengeboran sumur untuk menemukan cadangan baru.

Langkah lain, menggenjot pengembangan infrastruktur energi terbarukan. Ia mengatakan pengembangan energi baru terbarukan selama ini memang belum menarik bagi investor.

Nah di sinilah kata dia, pemerintah harus masuk dengan memberikan insentif supaya investor mau masuk.

“Insentif terkait di sini seperti keringanan pajak, suku bunga investasi, kemudahan pengurusan administrasi, implementasi tarif yang menarik dan insentif lainnya,” katanya.

Dengan insentif itu ia berharap investor mau masuk dan pengembangan energi baru terbarukan bisa digeber.

“Soalnya apabila tidak ada skema bisnis dan insentif yang menarik, tidak ada yang mau masuk. Tapi kalau disusun skema bisnis yang baik dan ditambah insentif, maka tentunya akan banyak investor yang masuk,” katanya.

Ia mengatakan kalau upaya-upaya kongkret itu tak segera dilakukan, potensi Indonesia terjerembab ke krisis energi cukup besar dan tinggal menghitung hari saja.

“Bicara mengenai krisisi energi, kalau dibilang saat ini mungkin itu bisa menjadi suatu ancaman ya apabila memang bila tadi dalam sektor migas tidak ditanggapi serius,” katanya.

KTT G7 Diharapkan Dukung Transisi Energi

Jakarta, energywatch.or.idDirektur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga berharap, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Hiroshima dapat membuktikan komitmennya. Dalam mendukung upaya transisi energi di Indonesia.

“Itu sesuai yang diinginkan Presiden Jokowi dan Indonesia,” ujar Daymas dalam perbincangan bersama Pro 3 RRI, Minggu (21/5/2023).

Menurutnya, Indonesia menginginkan adanya percepatan transisi energi dengan sistem partnership. Dimana nilainya mencapai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp298 triliun.

“Dana ini memang dipergunakan untuk mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga  batu bara,” ucapnya.

Diketahui, ke depannya Indonesia tidak akan menggunakan lagi energi batu bara dalam menjalankan pembangkit listriknya. Meski diakuinya, transisi energi ini membutuhkan biaya yang cukup besar.

“Jadinya ini mengakibatkan dampak investasi yang cukup besar,” katanya.

Oleh karena itu, menurutnya, bantuan dari negara-negara G7 yang memang sudah berkomitmen saat sejak KTT G20 ini diperlukan.

“Komitmen G7 ini untuk mendorong pensiun dini dari PLTU tersebut. Apalagi, Indonesia memiliki target penurunan emisi hingga 31,89  hingga 42 persen,” lanjutnya.

Ia berharap Indonesia mendapatkan investasi energi bersih dalam pertemuan KTT G7 ini. Selain itu, juga mendapatkan komitmen untuk pengembangan mobil listrik dan baterai Lithium di Indonesia.

“Tentu saja itu karena membutuhkan ekosistem yang tidak bisa berdiri sendiri untuk mobil listrik ini,” ucapnya.

Menurutnya, hal ini memerlukan ekosistem yang menyeluruh untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. Dimana hal ini ditargetkan hingga  tahun 2030.

“Untuk energi bersih ini memerlukan sebuah proses yang panjang,” katanya.

Di sisi lain, ia mengapresiasi komitmen pemerintah untuk mendukung energi baru dan  terbarukan. Hal itu lantaran energi ini lebih ramah lingkungan dan rendah emisinya.

“Tetapi itu membutuhkan bantuan investasi untuk mempercepat proses. Mimpi-mimpi Indonesia ini bisa terwujud di 2030,” kata Daymas.

Di Balik Sikap Lunak Pemerintah Berikan Relaksasi Ekspor Tembaga, Energy Watch: Harus Kita Kawal!

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan memberikan izin perpanjangan atau relaksasi ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Izin ekspor konsentrat itu mestinya berakhir pada Juni 2023, tapi diperpanjang sampai Mei 2024.

Pemberian relaksasi ekspor ini jelas bertolak belakang dengan sikap Presiden Joko Widodo yang menginginkan adanya hilirisasi di sektor pertambangan. Jokowi pada awal Februari 2023, sempat mengumumkan penghentian ekspor tembaga mentah yang efektif berlaku pada Juni 2023.

Pelarangan ekspor konsentrat itu juga temuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Di mana UU tersebut melarang ekspor tambang dan mineral mentah, tanpa hilirisasi di dalam negeri.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif berasalan, pengecualian pemberian relaksasi izin ekspor tembaga mentah tersebut karena kedua perusahaan itu tengah komitmen menyelesaikan pembangunan smelter-nya.

“[Keputusannya] boleh [ekspor konsentrat tembaga] sampai progresnya komitmen dia untuk menyelesaikan [smelter] dan tidak boleh lebih dari pertengahan tahun depan,” tegas Arifin di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

Freeport Indonesia dan Amman Mineral sedang membangun pabrik pengolahan konsentrat tembaga baru di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat yang diperkirakan menelan biaya investasi 982 juta dolar AS atau setara Rp14,7 triliun. Namun pembangunannya sempat mundur dari jadwal karena pandemi COVID-19.

“Kalau konstruksi tidak jalan dampaknya bisa ke ribuan pekerja, kan, di tambang ribuan juga. Kita harapkan kalau sudah ada komitmen harus ada keseriusan untuk selesaikan, karena ini nilai tambah semuanya buat kita. Baru sekarang ini usaha kita gol kan hilirisasi ini secara masif, memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin,” jelas Arifin.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra menjelaskan, kebijakan relaksasi ekspor ini memang menjadi kondisi yang dilematis bagi pemerintah. Karena kebijakan hilirisasi yang sudah digaungkan oleh pemerintah akhirnya tidak konsisten dengan adanya relaksasi.

“Namun kami melihat kebijakan ini dapat terjustifikasi juga karena pertama terkait potensi kerugian negara yang timbul akibat pelarangan ekspor karena saham mayoritas PTFI saat ini dimiliki oleh pemerintah,” jelasnya kepada Wartawan.

“Kedua, adalah ini merupakan collateral impact akibat mundurnya target pembangunan smelter akibat COVID-19,” sambung dia.

Namun, yang perlu dipastikan ke depannya adalah tidak ada lagi toleransi atau relaksasi akibat mundurnya pembangunan smelter. Pemerinrah harus tegas serta mengawal pembangunan smelter kedua perusahaan tambang tersebut.

“Ini yang sama-sama harus kita kawal,” imbuh dia.

Kilang Balikpapan Batal Didanai AS, Pertamina Cari Investor Baru?

Jakarta, energywatch.or.id – Pemerintah didesak untuk segera mencari investor baru bagi proyek pengembangan kilang atau refinery development master plan (RDMP) PT Pertamina (Persero), setelah Bank Ekspor-Impor (Eksim) Amerika Serikat (AS) batal menyalurkan rencana pinjaman US$99,7 juta atau setara Rp 1,46 triliun (asumsi Rp 14.600/US$).

Pinjaman tersebut sejatinya diharapkan membantu meningkatkan produksi bensin sebanyak 101.000 barel per hari di kilang minyak PT Kilang Pertamina Balikpapan.

Namun, hngga saat ini, Pertamina mengeklaim belum mendapatkan pemberitahuan langsung dari Bank Eksim AS terkait dengan batalnya rencana pendanaan mereka ke RDMP Balikpapan.

“Sampai dengan saat ini, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) belum mendapatkan pemberitahuan pembatalan pemberian pinjaman terkait dengan project financing RDMP Balikpapan senilai US$99,7 juta dari Bank Ekspor-Impor AS,” kata Corsec Kilang Pertamina Internasional Hermansyah Y Nasroen saat dimintai konfirmasi, Jumat (28/4/2023). 

Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga Radiandra mengatakan RDMP Balikpapan tersebut merupakan kebutuhan mendesak Indonesia untuk memiliki kilang sendiri dan mengurai ketergantungan terhadap impor migas

“Jadi, kami melihat, kalau Bank Eksim AS itu mundur, tentunya Pertamina atau pemerintah perlu melakukan mitigasi atau pencarian investor yang lain. Sebab, menurut kami [proyek] ini merupakan sebuah urgensi untuk Indonesia. Apalagi memang kapasitas RDMP Balikpapan ini  cukup signifikan, dari 260 kbpd [kilo barrel per day], menjadi 360 kbpd. Jadi memang betul, ini sangat signifikan. Ini merupakan salah satu dari 6 proyek RDMP yang memang sedang dilaksanakan,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (29/4/2023) petang.

Menurut Daymas, upaya mencari investor bagi proyek kilang di Tanah Air akan makin menantang ke depannya sejalan dengan kian tingginya komitmen negara-negara maju untuk menyetop pendanaan ke proyek-proyek energi fosil dan mencapai net zero emission pada kisaran 2050—2060.

“Namun, sekali lagi, kalau kami melihat ini merupakan proyek yang harus tetap dilaksanakan. Baik Pertamina maupun pemerintah tentunya harus mencari mitigasi dari investasi yang lain,” lanjutnya.

Dia menilai sebenarnya Pertamina sanggup untuk melakukan pendanaan sendiri terhadap proyek-proyek RDMP-nya. Meski membutuhkan biaya besar, dia berpendapat investasi RDMP akan lebih menguntungkan Pertamina dalam jangka panjang.

“Kalau kita bisa produksi dari dalam negeri, tentunya ada selisih harga yang perlu ditelaah dan dikaji ulang, baik oleh pemerintah maupun Pertamina, untuk bisa mengambil proyek ini dengan investasi sendiri, kalau dari negara lain menarik mundur terhadap investasi pengolahan bahan bakar ini.” tuturnya.

Sebelumnya, Bank  Eksim AS dikabarkan batal menyalurkan pinjaman setelah mempertimbangkan bahwa aksi tersebut berseberangan dengan misi Presiden Joe Biden untuk berhenti mengucurkan dolar publik ke proyek bahan bakar fosil asing.

Para direktur Bank Eksim AS telah dijadwalkan untuk memberikan suara pada Kamis terhadap rencana tersebut. Adapun, pinjaman terhadap Indonesia itu sejatinya diharapkan membantu meningkatkan produksi bensin sebanyak 101.000 barel per hari di kilang minyak PT Kilang Pertamina Balikpapan.

Akan tetapi, usulan pembiayaan tersebut ditarik dari agenda pertemuan dewan Bank Eksim AS pada Rabu menyusul protes dari aktivis lingkungan, yang menyatakan pinjaman itu akan menjadi pengkhianatan terhadap komitmen Biden untuk memerangi perubahan iklim.

“Sebagai respons terhadap pertanyaan pemangku kepentingan baru-baru ini, proyek [pinjaman] tersebut telah dihapus dari agenda. Ini akan diadakan untuk tindakan dewan lebih lanjut sampai Bank Eksim dapat melakukan percakapan tambahan yang penting ini,”  kata juru bicara Bank Ekspor-Impor AS Sean Bartlett.

.

Pasokan Energi Aman Saat Arus Balik Lebaran 2023

Jakarta, energywatch.or.id – Pasokan energi selama arus mudik dan Idulfitri 1444H berjalan baik dan terpantau aman. Selaras yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bahwa Kementerian/Lembaga dan badan usaha terkait terus berupaya agar penyediaan dan penyaluran energi berjalan dengan baik.

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) selaku Ketua Posko Nasional sektor ESDM Ramadan dan Idul Fitri 1444 H/2023 Erika Retnowati menjelaskan, pasokan dan pendistribusian energi pada arus mudik berjalan normal. Penyediaan BBM, Gas Bumi, LPG serta kelistrikan juga nyaris tanpa kendala.

“Alhamdulillah, berkat kerja sama dan kolaborasi yang baik antar instansi, pasokan energi pada periode arus mudik berjalan lancar,” ungkap Erika, Selasa (25/4/2023).

Pemerintah, sambung Erika, terus berupaya agar pasokan energi, utamanya BBM tetap terjamin pada periode arus balik. Berdasarkan laporan Posko Nasional Sektor ESDM hari Senin, 24 April 2023, ketersediaan BBM, termasuk Avtur dalam kondisi aman.

“Semua (pasokan dan pendistribusian BBM) normal dan terkendali,” ucap Erika.

Demikian juga dengan penyaluran gas bumi dan LPG nasional, semua terpantau dalam kondisi aman.

“Untuk kelistrikan, sistem nasional juga dalam kondisi normal. Daya mampu pasok nasional berada di atas beban puncak,” imbuhnya.

Terkait kebencanaan geologi, pasca kejadian gempa bumi magnitudo 7,3 di Barat Laut Kepulauan Mentawai, dirinya sudah berkoordinasi agar badan usaha segera melakukan asesmen dan evaluasi infrastruktur energi di wilayah terdampak.

Saat ini Posko Nasional Sektor ESDM terus berkoordinasi guna memastikan tidak ada dampak signifikan terhadap penyaluran energi di wilayah terdampak gempa bumi.

Pasokan BBM Arus Balik Aman
Menghadapi arus balik yang diprediksi berlangsung hingga akhir pekan nanti, Posko Nasional Sektor ESDM juga memastikan penyediaan dan penyaluran BBM di sepanjang ruas utama dan arteri tersedia dengan baik.

Pasca Hari Raya Idul Fitri Tahun 2023, Komite BPH Migas beserta Eselon II dan jajaran terus melakukan pemantauan pasokan energi di berbagai wilayah.

Tim pengawas juga terus bekerja memastikan keandalan pasokan energi, terutama di wilayah yang mayoritas merayakan Hari Raya Idul Fitri 1444H, daerah wisata yang menjadi destinasi masyarakat, jalur lintas utama maupun logistik, serta wilayah rawan kemacetan maupun rawan bencana.

“Kami terus memonitor secara langsung pasokan BBM, gas bumi, elpiji, ketenagalistrikan, dan kebencanaan geologi, baik sebelum, saat Hari Raya Idul Fitri, hingga berakhirnya masa kerja Posko Nasional Sektor ESDM. Sebagaimana disampaikan beberapa waktu lalu, periode libur lebaran tahun ini lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Komunikasi intensif serta sinergitas dengan badan usaha energi dan stakeholder menjadi kunci agar masyarakat dapat beraktivitas dengan nyaman,” kata Erika.

Di samping itu, pengendara yang melakukan perjalanan kembali ke kota asal diharapkan dapat mempersiapkan dengan baik segala sesuatunya, termasuk pengisian BBM.

“Kami mengimbau masyarakat dapat melakukan pengisian BBM dengan mempertimbangkan kepadatan arus balik menuju kota asal. Pasokan BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) kami pastikan tersedia dengan baik. Tetap jaga kondisi fisik, kelaikan kendaraan dicek, juga perhatikan kondisi cuaca saat kembali. Utamakan keselamatan,” tutup Erika.

Sebagaimana diketahui, Posko Nasional sektor ESDM untuk Ramadan dan Idul Fitri 2023 telah berlangsung sejak 10 April 2023 hingga 2 Mei 2023 mendatang. Tahun ini, BPH Migas kembali ditunjuk sebagai Koordinator Posko Nasional Sektor ESDM Hari Raya Idul Fitri 1444 H.

Posko bertugas untuk melakukan koordinasi dan mengawasi pasokan energi dan antisipasi kebencanaan geologi. Bertempat di War Room kantor BPH Migas, setiap hari petugas posko secara bergantian bekerja melakukan pemantauan dan menginformasikan kondisi terkini pasokan energi dari seluruh wilayah Indonesia.

Harga Pertamax Naik, Pembatasan BBM Kunci Cegah Migrasi ke Pertalite

Jakarta, energywatch.or.id – Langkah pemerintah yang menerapkan batas maksimum pada harga Pertamax yang per 1 Maret 2023 naik menjadi Rp 13.300 per liter, dinilai tak relevan untuk untuk mencegah migrasi konsumen ke BBM bersubsidi Pertalite.

Ketimbang menetapkan harga batas atas pada penjualan Pertamax, pemerintah diminta untuk segera menyelesaikan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM).

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arrangga, menyampaikan bahwa penetapan harga jual maksimum pada Pertamax bakal menimbulkan biaya kompensasi yang wajib dibayarkan oleh pemerintah apabila harga jual Pertamax SPBU melebih harga batas atas yang ditetapkan.

“Kalau menetapkan batas atas maka artinya akan ada harga yang dikompensasi dengan subsidi. Ini seperti ular makan ekornya, mencegah migrasi tapi kasih harga batas atas,” kata Daymas saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (2/3).

Daymas melanjutkan, harga BBM non subsidi selayaknya dilepas seluruhnya mengikuti harga pasar tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Dia menganggap bahwa cara yang paling efektif untuk mencegah migrasi konsumen Pertamax ke Pertalite yakni dengan mengetatkan calon pembeli BBM bersubsidi

“Kami melihat untuk mencegah migrasi maka selesaikan dulu soal regulasi mengenai siapa yang berhak mendapatkan Pertalite,” ujar Daymas.

Artikel ini telah dipublikasikan oleh katadata