Luar Biasa, Peringkat Resiko ESG Pertamina di Peringkat 2

Pada Oktober 2022, Pertamina menerima Peringkat Risiko ESG 22.1 dari Lembaga ESG Rating Sustainalytics dan dinilai berada pada tingkat risiko Medium dalam mengalami dampak keuangan material dari faktor-faktor ESG.
Peringkat Risiko ESG menempatkan Pertamina berada di peringkat 2 (dua) secara global dalam sub-industri Integrated Oil & Gas oleh Sustainalytics, yang mana posisi ini melonjak tinggi dari peringkat nomor 8 dari 54 perusahaan yang sama di tahun 2021.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menyampaikan ucapan selamat atas hasil yang diraih oleh Pertamina tersebut. Hal mengingat dalam mengelola dan menjalankan Environmental, Social and Governance (ESG) pada perusahaan sebesar Pertamina adalah tidak mudah.

“Dengan kegiatan perusahaan yang dimulai dari hulu, midstream dan hilir yang sedemikian besar dan kompleks, Pertamina mampu mengelola secara prudent dan berkesinambungan sehingga bisa mendapatkan peringkat 2 secara global dalam sub-industri Integrated Oil & Gas oleh Sustainalytics maka sudah selayaknya kita memberikan apresiasi yang tinggi atas keberhasilan ini,” ujar Mamit dalam keterangan tertulisnya.

Pertamina yang menerapkan prinsip ESG dalam praktik bisnis dan investasinya berarti akan turut mengintegrasikan serta mengimplementasikan kebijakan perusahaan, sehingga selaras dengan keberlangsungan tiga konsep tersebut. Melalui penerapan ESG yang baik, maka Pertamina mendapatkan perhatian dari para investor dalam berinvestasi mendukung kegiatan Pertamina.

“Ditengah proses transisi energi yang saat ini berlangsung dan target menuju NZE 2060, investor sangat memperhatikan penerapan ESG dalam suatu perusahaan. Perusahaan yang menjalankan konsep dan implementasi kriteria ESG telah menjadi pertimbangan dasar bagi para investor dalam melakukan pengambilan keputusan untuk berinvestasi atau tidaknya dalam suatu bisnis atau perusahaan. Mereka akan melihat sejauh mana konsep berkesinambungan dalam bisnis suatu perusahaan. Dengan naiknya peringkat Pertamina dalam menjalankan prinsip ESG maka bisa meningkatkan daya saing Pertamina dengan perusahaan migas negara lain,” urai Mamit.

Dia juga mengungkapan bahwa pada dasarnya penerapan ESG tidak hanya untuk menarik investor saja, tetapi juga para pemangku kepentingan, pegiat komunitas, dan para perancang kebijakan dapat menggunakan kriteria Environmental (Lingkungan), Social (Sosial) dan Governance (Tata Kelola Perusahaan) sebagai model dalam melihat manajemen suatu perusahaan.

“Dengan naiknya peringkat Risiko ESG Pertamina ke peringkat 2, hal ini dapat meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan, perancang kebijakan dan masyarakat dalam melihat kinerja Pertamina selama ini sehingga Pertamina akan berupaya untuk terus menjaga dan meningkatkan implementasi ESG dalam semua lini bisnis mereka,” jelas dia.

Mamit juga menyampaikan bahwa konsep investasi hijau dan berkelanjutan dengan menerapkan ESG tidak hanya untuk mengejar keuntungan semata, melainkan juga memperhatikan segi kebermanfaatan perusahaan bagi lingkungan, masyarakat, dan pemerintah yang nyatanya dapat membuat nilai perusahaan naik secara signifikan dalam jangka panjang.

“Dan Pertamina mampu dalam membuktikan konsep investasi hijau dan berkelanjutan ini. Saat ini Pertamina sudah bertransformasi menjadi perusahaan yang lebih ramah lingkungan dengan terus berupaya mengurangi emisi karbon dalam setiap lini kegiatan perusahaan dalam upaya menuju target bauran energi dan net zero emission 2060 yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” pungkas Mamit

Masuk Tahun Politik, Harga Pertalite Dijamin Tak Naik

Kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan kurs rupiah dapat berimbas terhadap harga BBM, yang berpotensi kembali terkoreksi. Namun, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai Pertalite masih aman dari kenaikan harga, terlebih jelang memasuki tahun politik di 2023.

Mamit berpendapat, selama pemerintah masih memiliki dana untuk membayar kompensasi dan subsidi terhadap harga keekonomian, maka harga Pertalite akan bertahan terus.

“Apalagi kondisi kita masih ada windfall, meskipun tahun depan akan berkurang seiring melemahnya harga komoditas,” ujar Mamit kepada Liputan6.com, Senin (24/10/2022).

Di sisi lain, ia menilai kenaikan harga BBM di tahun politik jadi satu kebijakan ganjil untuk dilakukan.

“Kita sudah memasuki tahun politik di 2023. Berat bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang kurang populis,” sebut dia.

Kendati harga minyak terus menguat dan sokongan APBN sudah terlampau berat, pemerintah dikatakannya bakal lebih memilih jalan lain untuk bisa menopang harga Pertalite agar tak naik.

Salah satu caranya, dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) yang akan kembali diedarkan dalam jumlah besar.

“Isu resesi ekonomi mempersulit mendapatkan pinjaman. Hal ini juga yang menurut saya pemerintah berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang tidak populis,” ungkap Mamit.

Upaya Hilirisasi Presiden Jokowi Diapresiasi Energy Watch

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mendukung kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk terus melakukan hilirisasi terhadap berbagai Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia untuk kesejahteraan rakyat.

Mamit mengatakan sudah cukup untuk menjual bahan mentah Indonesia ke luar negeri dan memperkuat hilirisasi bahan mentah dalam negeri. Meskipun digugat soal pelarangan ekspor bahan mentah (biji nikel) oleh Uni Eropa kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

“Saya kira harus serius, karena sudah cukuplah kita menjual bumi kita ke luar negeri gitu loh. Apapun itu mau digugat WTO atau apa saya sih mendukung (hilirisasi),” ujar Mamit, Senin (24/10/2022).

Walaupun akibat kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah mendapat gugatan, menurut Mamit harus tetap konsisten mempertahankan SDA Indonesia untuk kemakmuran masyarakat.

Jika negara lain tidak terima atas kebijakan yang diambil Presiden Jokowi, sebaiknya mereka menanamkan investasinya ke Indonesia dengan salah satunya membangun smelter di sini.

“Kita lawan saja orang tanah-tanah kita kok, Sumber Daya Alam kita ngapain mereka pada ribut, kalau mau mereka mau masuk ke Indonesia, ya bangun donk investasi di sini, bangun hilirisasi smelter itu, kalau prinsip saya sih begitu,” tegasnya.

Menurutnya, hilirisasi sangat penting pasalnya dapat memberikan multiplier effect dan memberikan nilai tambah baik bagi penerimaan negara dan masyarakat.

“Terus juga bagi pemerintah daerah juga pasti akan mendapat nilai tambah,” ucapnya

Multiplier effect-nya dari hilirisasi dari pembuatan smelter tersebut makanya sudah cukuplah kita menjual bumi kita keluar lebih baik kita murnihkan terlebih dahulu dengan adanya smelter ini,” imbuhnya.

Selain itu, Mamit juga mendorong agar pemerintah mempersiapkan industri dalam negeri serta sebatas membangun smelter, namun juga membuat barang mentah tersebut menjadi barang jadi dan di jual sendiri di dalam negeri.

“Jadi perlu dipersiapkan industri dalam negeri dahulu yang mampu menerima produk turunan dari tersebut sehingga kegiatan industri di sana pun tetap berjalan masyarakat juga tetap tumbuh perekonomian tetap jalan,” ulas Mamit.

“Jadi tetapi tetap harus diperhatikan juga larangan ini harus memberikan kesiapan industri dalam negeri dan juga multiplier effect-nya seperti apa dan pada prinsipnya menurut saya hilirisasi saat ini itu harusnya ke depan itu kita bicara sampai end to end tidak hanya sampai kita bicara smelter saja,” tegasnya.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo saat berkujung ke smelter PT Timah di Kabupaten Bangka Barat mengatakan pembangunan smelter tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melakukan hilirisasi bahan tambang.

“Hari ini saya melihat smelter baru yang dimiliki oleh PT Timah. Ini menunjukkan keseriusan kita dalam rangka hilirisasi timah. Nikel sudah, (sekarang) timah, bauksit, semuanya akan saya ikuti dan ini nanti akan selesai November,” ucap Jokowi.

Ia berharap agar pergerakan hilirisasi pada komoditas timah akan segera bisa mengikuti apa yang sudah pemerintah lakukan pada komoditas nikel. Menurutnya, saat ini pemerintah masih berhitung mengenai kapan akan menghentikan ekspor timah dalam bentuk bahan mentah.

“Perlu kita hitung semuanya sehingga nanti semuanya berjalan dengan baik, tidak ada yang dirugikan, tetapi bahwa sekali lagi hilirisasi bahan-bahan tambang itu memang harus kita hentikan dan semuanya masuk ke industrial down streaming, semuanya masuk ke hilirisasi karena nilai tambahnya ada di situ, added value-nya ada di situ,” terangnya.

Dengan adanya smelter baru di PT Timah, Presiden juga berharap nilai tambah di dalam negeri akan makin meningkat serta lapangan pekerjaan yang luas akan terbuka. “Ya (harapannya) nilai tambah di dalam negeri akan makin banyak dan membuka lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya,” tandas Jokowi.

Energy Watch: Alih Kelola PLTU PLN ke Bukit Asam Berisiko Tinggi

PT PLN (Persero) bersama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) telah menandatangani Principal Framework Agreement (PFA) dalam rangkaian agenda Stated-Owned Enterprises (SOE) International Conference di Bali, beberapa waktu lalu. PFA dilakukan dalam rangka rencana penjualan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu milik PLN ke PT Bukit Asam Tbk (PTBA).

PLTU yang telah diambil alih Bukit Asam tersebut akan dikurangi masa aktifnya, dengan melibatkan skema pendanaan (green financing) seperti yang dijalankan oleh negara-negara Barat dalam program pengurangan batu bara (coal phase-down).

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai rencana pengalihan tersebut berisiko tinggi. Sebab menurutnya tidak ada dasar hukum saat rencana tersebut benar-benar dilakukan oleh pemerintah.

“Apakah sudah ada dasar hukum terkait dengan pengalihan aset ini? Mengingat mengalihkan aset BUMN ini bukan hal yang mudah meskipun kepada sesama BUMN. Jangan sampai nanti dikemudian hari ada aspek hukum yang dilanggar,” ujar Mamit dalam pernyataannya kepada reporter Tirto, Sabtu (22/10/2022).

Selain dasar hukum, Mamit juga mempertanyakan pelayanan dan kehandalan pembangkit jika diambil alih oleh PTBA. Ia menilai Bukit Asam sendiri merupakan produsen dari batu bara dan tidak mempunyai pengalaman mengoperasikan listrik.

“Apakah nanti pelayanan dan kehandalannya tetap sama saat di pegang oleh PLN?Jangan sampai nanti masyarakat yang dirugikan,” kata dia.

Mamit juga khawatir saat alih kelola ini dilakukan justru akan menambah beban keuangan PLN. Apalagi saat ini kondisi listrik masih oversuplai.

Dengan peralihan ini, lanjut Mamit, justru akan menambah jumlah Independent Power Plant (IPP) yang mana skemanya adalah take or pay (TOP). Maka beban bagi PLN akan bertambah kembali.

“Berbeda cerita dengan saat ini yang masih sepenuhnya milik PLN. Di mana PLN bisa mengatur sendiri operasional PLTU Pelabuhan Ratu sesuai dengan kebutuhan mereka,” jelasnya.

Mamit juga menyampaikan bahwa semangat menuju Net Zero Emission (NZE) 2060 jangan sampai melanggar hukum dan merugikan serta membebani masyarakat.

“NZE itu adalah keniscayaan, tapi semua harus sesuai dengan aturan yang berlaku dengan tetap tidak membebani masyarakat,” kata Mamit.

Wakil Menteri BUMN, Pahala Mansury sebelumnya menyatakan upaya transisi energi di Indonesia salah satunya dilakukan dengan mempercepat transisi energi, dari penggunaan bahan bakar berbasis hidrokarbon menjadi bahan bakar berbasis energi baru dan terbarukan (EBT).

Komitmen pemerintah untuk mempercepat transisi energi dilakukan tidak hanya dengan membahas persoalan transisi energi, melainkan juga dengan melakukan aksi nyata yang melibatkan perusahaan milik negara.

“Dalam skema percepatan pengakhiran PLTU, salah satu yang sedang kami eksplor adalah kerja sama PTBA dan PLN sebagai dua pemain energi. Nanti akan kami lihat opsi, bagaimana jika Bukit Asam masuk jadi investor mengambil alih PLTU milik PLN,” tuturnya dalam diskusi jelang SOE International Conference di Bali, Minggu malam (16/10/2022).

Pada prinsipnya, skema tersebut akan melibatkan pihak ketiga di luar PLN dan Bukit Asam, yakni investor. Pihak ketiga tersebut akan menyediakan pendanaan bagi Bukit Asam untuk mengakuisisi PLTU, tetapi dengan kewajiban pengurangan emisi karbondioksida melalui pemangkasan umur pakai.

“Misalnya setiap tahun ada 7-9 juta ton emisi CO2 yang bisa dikurangi (dari PLTU). Kalau bisa dilakukan pengakhiran 10 tahun lebih awal, diharapkan bisa turunkan emisi total selama 10 tahun itu (setara 70-90 juta ton emisi CO2),” lanjut Pahala.

Dengan demikian, PLTU milik PLN diambil alih oleh PTBA dengan kesepakatan percepatan pengakhiran. Misalnya, umur pakai sebuah PLTU berkapasitas 1,6 Gigawatt (GW) adalah 20 tahun, maka dia dipensiunkan lebih cepat 10 tahun.

Skema lainnya adalah dengan menyediakan pembiayaan murah untuk PLTU milik swasta (independent power producer/IPP) yang mendapatkan pembiayaan murah dalam proses pembangunannya, tetapi dengan pengakhiran lebih cepat.

“Misalnya dia dapat pinjaman biasanya 7 persen, terus dapat bunga lebih murah yakni 4 persen, maka dia bisa akhiri lebih cepat. Tapi nanti ditentukan kapan untuk tidak beroperasi lagi, tapi tetap dibayar, apakah dalam bentuk grant atau kompensasi,” jelas Pahala.

Saat ini pemerintah masih mendiskusikan target pensiun dini pembangkit berbasis batu bara tersebut.

“Misalnya dari 5,5 GW akan ditargetkan apakah dari situ 1,6 GW dari IPP, atau bagaimana. Intinya kami akan lakukan percepatan pengakhiran agar ada pembangkit EBT yang bisa masuk ke sistem,” ujarnya.

OPEC+ Pangkas Produksi Minyak, Begini Dampaknya

Negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC+ memangkas produksi sebesar 2 juta barel per hari. Hal itu dikhawatirkan akan memperburuk inflasi global saat ini.

OPEC+ adalah kelompok dari 23 negara pengekspor minyak yang rutin mengadakan pertemuan untuk memutuskan berapa banyak minyak mentah yang akan dijual di pasar dunia. Inti dari kelompok ini adalah 13 anggota OPEC yang sebagian besar adalah negara-negara Timur Tengah dan Afrika.

Sri Mulyani mengatakan Brent yang menjadi patokan harga minyak mentah dunia sempat mengalami penurunan. Namun, kemudian naik kembali sesudah OPEC memutuskan untuk mengurangi produksinya. Dampak dari keputusan OPEC+ menjadi pembahasan di dalam Kelompok 20 atau G20.

“Ini menyebabkan salah satu topik yang juga dibahas di dalam G20 kemarin, dampak dari keputusan OPEC yang dianggap akan makin meningkatkan harga minyak dan memperburuk inflasi,” ujar Sri Mulyani dalam Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI

Sementara itu, Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai dampak keputusan OPEC+ akan cukup signifikan bagi Indonesia. Sebab, Indonesia adalah net importir. Sederhananya, negara ini memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap impor dalam memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri.

OPEC+ memangkas produksi minyak mentah sebagai upaya mereka untuk menjaga harga minyak tetap bertahan pada level yang cukup tinggi. Dengan kondisi rupiah yang terus tertekan atas mata uang dolar Amerika Serikat (AS), dan harga minyak tinggi maka berdampak terhadap biaya produksi BBM.

Oleh karenanya, Mamit meyakini jenis BBM umum (JBU), yakni Pertamax series pasti akan mengalami penyesuaian harga lantaran produk energi ini tidak disubsidi dan dikompensasi pemerintah.

“Dengan formula sesuai dengan Kepmen ESDM 62/2020 maka pada akhir bulan mereka akan kembali melakukan evaluasi harga BBM. Kemungkinan saya kira akan ada kenaikan BBM umum pada bulan depan,” katanya kepada IDN Times baru-baru ini.

Energy Watch Beberkan Kendala Listrik Tenaga Surya: Belum Ada Teknologi Baterai Murah

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menjelaskan kendala pengembangan listrik tenaga surya atau matahari. Saat ini, pengembangan tersebut masih bersifat intermitten on grid.

Mamit mengatakan masih dibutuhkan penyimpanan energi untuk menjadikan energi surya sebagai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) off grid yang harganya masih tinggi. “Energy storege itu baterai. Saat ini komponen termahal energi baru terbarukan atau EBT adalah baterai. Bahkan, 50 persen dari total biaya adalah baterai,” ujar dia saat dihubungi pada Senin, 17 Oktober 2022.

Saat ini, Mamit mengatakan, belum ditemukan teknologi baterai yang lebih murah. Bukan cuma di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain.

“Jadi harus segera ditemukan teknologi baterai yang lebih murah lagi ke depannya dengan penyimpanan yang maksimal. Baterai ini jadi kendala,” kata dia.

Selain itu, kekurangan pengembangan listrik tenaga surya adalah dibutuhkan lahan yang cukup luas untuk mendapatkan sumber energinya. Belum lagi, Mamit berujar, perawatan yang harus mumpuni agar solar panel tetap bisa optimal. 

“Energi juga optimal hanya dari pukul 11.00-14.00 saja, itu pun dengan cuaca yang cerah,” ucap Mamit.

Namun, Mamit menuturkan saat ini semua pihak sedang mengupayakan digitalisasi, termasuk sektor energi. Harapannya, digitalisasi ini akan memudahkan pengembangan sektor energi. “Dan mengikuti perkembangan zaman,” tutur Mamit.

Energy Watch: Kendaraan Listrik Lebih Hemat, tapi Investasi Awal Mahal

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan ongkos kendaraan listrik lebih hemat ketimbang kendaraan berbahan bakar minyak (BBM). Sebab, tarif per kilowatt hour (kwh) kendaraan listrik lebih rendah untuk jarak tempuh yang sama dengan satu liter BBM kendaraan konvensional.

“Selain itu, biaya maintenance juga seharusnya lebih murah. Hanya, investasi awal memang masih mahal karena harga kendaraanya yang jauh lebih tinggi dari kendaraan BBM konvesional di kelas yang sama,” ujar dia saat dihubungi pada Senin, 17 Oktober 2022.

Mamit pun menyarankan pemerintah untuk menerbitkan kebijakan-kebijakan yang menarik sehingga masyarakat bisa beralih ke mobil listrik. Misalnya, kata dia, kelonggaran dari sisi pajak yang  atau kebijakan lain yang membuat masyarakat tertarik.

Mamit juga berpesan agar kendaraan listrik diproduksi di dalam negeri sehingga harganya lebih murah. Dia pun meminta agar dari sisi ketersediaan, stok kendaraan listrik diperbanyak. Sebab saat ini, pemesanan atau inden kendaraan listrik, khususnya mobil listrik, cukup lama.

“Hal ini membuat masyarakat jadi malas untuk beralih,” ucap Mamit.

Hal yang tidak kalah penting, dia berujar, adalah desain dari kendaraan listrik. Menurut Mamit, desain kendaraan listrik, utamanya mobil, harus sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia, tutur dia, umumnya menggemari kendaraan dengan muatan besar atau setara dengan MVP.

Lalu dari sisi infrastruktur, ia menganggap jalan raya untuk laju kendaraan pun harus diperbaiki. Selanjutnya, Mamit menilai infrastruktur lainnya, seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Indonesia yang masih minim perlu ditambah. Apalagi mengingat tren ke depan, penggunaan kendaraan listrik akan meningkat.

Hanya, Mamit mengimbuhkan, minimnya infrastruktur masih dalam kategori yang wajar. “Mengapa? karena memang saat ini populasi kendaraan listrik juga masih belum banyak juga. Intinya infrastruktur harus siap,” kata Mamit.

Mamit Setiawan: Pelarangan Ekspor Bahan Mentah Berdampak Besar Bagi Perekonomian Indonesia

Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan berkat program hilirisasi dan pelarangan ekspor bahan mentah oleh Presiden Jokowi sukses memberikan nilai tambah bagi produk Nikel.

“Program hilirisasi memberikan dampak yang besar bagi pertumbuhan ekonomi bukan hanya perekonomian nasional tetapi juga ekonomi lokal,” ujar Mamit

Dengan adanya program hilirisasi, kata dia, meskipun hanya barang seperempat jadi tetapi memberikan dampak yang cukup signifikan bagi penerimaan negara.

Menurut Mamit, program hilirisasi ini membuat perekonomian daerah tumbuh. Perekonomian nasional juga mengalami peningkatan, PNBP meningkat, dan pajak juga mengalami peningkatan.

Ke depan, menurut Mamit, hilirisasi ini perlu pengembangan tidak sebatas pembangunan smelter saja atau mengolah barang setengah jadi melainkan bisa sepenuhnya diolah sendiri di dalam negeri hingga menjadi barang jadi.

“Jadi, saya kira ini merupakan langkah positif terkait dengan hilirisasi,” ucap Mamit.

Dia berharap hilirisasi ini benar-benar mencapai yang namanya end to end sampai ke customer.

Mamit mendorong pemerintah agar produk-produk dari hilirisasi tersebut bisa diolah oleh industri dalam negeri yang hasilnya justru bisa dinikmati oleh masyarakat.

Oleh karena itu, Mamit mendorong kebijakan yang dapat mengundang investor untuk berinvestasi menciptakan produk hilirisasi menjadi barang jadi.

Menurut Mamit, perlu adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah untuk mengundang investasi-investasi besar yang menggunakan produk smelter itu untuk berinvestasi di Indonesia.

Lebih lanjut, Mamit mengatakan hal itu dilakukan untuk mengantisipasi jika suatu saat raw matrial yang dimiliki sumber daya alam Indonesia ini menipis.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia mendapat keuntungan negara yang besar dari hasil ekspor nikel yang sudah masuk dalam proses hilirisasi. Keuntungan negara dari ekspor yang didapat pada tahun ini mencapai sekitar US$ 30 miliar atau Rp 450-an triliun (kurs rupiah Rp 15.300 per dolar AS).

Menteri Investasi atau Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan sejak pemerintah melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri, pemerintah mewajibkan untuk melakukan ekspor nikel melalui barang bernilai tambah lewat hilirisasi.

Hasilnya, pendapatan negara dari ekspor barang bernilai tambah itu melejit secara signifikan. Bahlil merinci pada tahun 2017 ketika ekspor dilakukan melalui barang mentah, Indonesia hanya mendapatkan US$ 3,3 miliar.

Kemudian meningkat di tahun 2021 mencapai US$ 21 miliar.

“Dan, tahun 2022 US$ 30 miliar,” ucap Bahlil.

Nasib Pertalite Jika Vivo Jual BBM Revvo RON 90

PT Vivo Energy Indonesia dikabarkan bakal menjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Revvo RON 90 dalam waktu dekat ini. BBM baru keluaran swasta itu akan bersaing dengan BBM Pertalite milik Pertamina yang memiliki nilai oktan sama.

Apakah kehadiran BBM Vivo RON 90 bisa membuat Pertalite kalah saing?

Sejak BBM Pertalite nak harga menjadi Rp 10.000 per liter, banyak pengendara yang beralih ke BBM Vivo Revvo 89 seharga Rp 11.600 per liter.

Direktur Energy Watch Mamit Setiawan menilai kehadiran BBM Vivo RON 90 bisa menguntungkan masyarakat karena memberikan banyak pilihan harga BBM.

“Kalau nanti (harga BBM) Revvo lebih murah, kenapa tidak?” ujar Mamit di Jakarta Selatan, Rabu, 13 Oktober 2022.

Kontra dengan pernyataan Marwan, Mamit mengatakan langkah Vivo menghadirkan BBM setara Pertalite tidak akan menggeser pasar Pertamina. Mamit justru mendukung penjualan BBM produksi swasta dengan catatan, produk tersebut mampu bersaing dengan produk BBM pemerintah.

“Berapa sih jumlah SPBU Vivo? Bisa dihitung jari, paling banyak di Jabodetabek. Kalaupun menggerus (pasar Pertamina), itu tidak akan signifikan,” tutur Mamit.

Jokowi Mau Stop Impor Aspal, Energy Watch: Perusahaan Cari yang Paling Murah

Direktur Energy Watch Mamit Setiawan menilai wacana pemerintah melarang impor aspal adalah kebijakan yang bagus. Sebab, produksi aspal dalam negeri di Buton, Sulawesi Tenggara, masih melimpah.

“Seperti kata Pak Jokowi, potensi yang ada harus kita optimalisasi,” ujar Mamit ketika  ditemui di Grandkemang Jakarta Selatan, Rabu, 13 Oktober 2022.

Namun, Mamit memberikan catatan. Industri dalam negeri, kata dia, harus punya kemampuan untuk melakukan penyerapan. Menurut Mamit, jangan sampai kebijakan ini justru memberatkan pengusaha dan masyarakat.

Apalagi selama ini, Mamit melanjutkan, masalah harga masih menjadi kendala yang jamak dihadapi pelaku usaha maupun konsumen. Sebab, harga produk dalam negeri sering dianggap terlalu mahal ketimbang produk luar negeri.

“Kalau bicara margin perusahaan, mereka pasti cari yang paling murah,” kata mamit. Karenanya, wacana larangan impor aspal, mesti dipikirkan dan harus dipertimbangkan agar tidak memberatkan industri dalam negeri.“Dan yang pasti jangan menggerus multiplier effect yang sudah didapatkan.”

Mamit mengatakan kebutuhan aspal di dalam negeri memang besar. Musababnya, Indonesia mempunyai proyek-proyek infrastruktur dalam skala masif.

Asisten Deputi Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Tubagus Nugraha mengatakan pemerintah ingin mengurangi potensi defisit neraca perdagangan. Karenanya, perlu dilakukan subsitusi impor melalui penggunaan barang-barang yang ada di Indonesia.

“Jadi spiritnya Pak Presiden demikian. Bagaimana caranya sekarang menemukan bahwa aspal alam Indonesia itu cocok dengan kebutuhan aspal yang digunakan di dalam negeri,” kata Tubagus, Rabu, 12 Oktober 2022.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan pemerintah akan menyetop impor aspal dalam 2 tahun mendatang. Wacana tersebut berpijak pada produksi aspal dalam negeri. Jokowi mengatakan Buton memiliki stok bahan baku aspal sebanyak 662 juta ton. Namun selama ini, 95 persen aspal di Indonesia masih berasal dari impor.

“Dulunya pernah diolah di Buton, tetapi stop. Saya enggak tahu karena katanya aspal impor lebih murah sehingga yang terjadi yang 95 persen aspal kita adalah aspal impor, padahal punya deposit di Buton 662 juta ton. Dua tahun lagi saya beri waktu setop impor aspal, semuanya harus disuplai dari pulau Buton,” kata Jokowi di acara Investor Daily Summit 2022 di JCC, 11 Oktober.

Dengan kebutuhan aspal di Indonesia sebanyak 5 juta ton per hari dan stok bahan baku 662 juta ton, negara dapat memproduksi aspal hingga 120 tahun ke depan. Maka itu, Jokowi melihat Indonesia tidak lagi butuh impor jika produksi dalam negeri optimal.

“Kebutuhan kita terakhir informasi yang saya terima 5 juta ton. Kalau 5 juta ton per tahun artinya kita masih memiliki 120 tahun untuk mengelola yang namanya aspal,” kata Jokowi.